PERINTISAN DAN PENGEMBANGAN
ORGANISASI-ORGANISASI KOPERASI
”MODERN”
(Di Cuplik dari Buku Organisasi
Koperasi mengenai Organisasi Koperasi dan Kebijakan
Pengembangannya di Negara-Negara
Berkembang)
Oleh : Prof. DR. Alfred Hanel
Tahap-Tahap
Perkembangan Koperasi Modern Di Negara-Negara Berkembang
(1)
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama, para imigran dari Eropa
mendirikan koperasi-koperasi pertanian, seperti di Argentina, Brasilia Bagian
Selatan; Transvaal dan Rhodesia. Bagian Selatan; di India, Pemerintah Kolonial
Inggris mendorong pembentukan koperasi-koperasi kredit atas dasar ketentuan
undang-undang yang berasal dari Undangundang Koperasi Inggris dan sesuai dengan
suatu strategi, yang dipadukan dengan unsurunsur konsepsi awal Koperasi
RAIFFEISEN yang dikembangkan di Jerman (lihat Pola Pengembangan Koperasi Inggris-India
pada butir 1.2.3.4).
(2)
Selama periode antara kedua Perang Dunia, Pemerintah-pemerintah colonial
Inggris di Afrika mendorong pembentukan organisasi-organisasi koperasi modern
atas dasar Pola Pengembangan Koperasi Inggris-India, yang telah mengalami
perubahan dan penyempurnaan, dan yang juga dianggap sebagai suatu model usaha
pengembangan koperasi di beberapa negara Asia. Di bekas daerah-daerah jajahan
Perancis di Afrika, penguasa colonial mendirikan organisasi-organisasi
koperasi, yang disesuaikan dengan berbagai bentuk ‘societe de prevoyance’ yang berbeda-beda
dan memanfaatkannya sebagai sarana administratif untuk berbagai kepentingan. Berbagai
prakarsa untuk mengembangkan koperasi-koperasi pertanian telah dilakukan pula di
beberapa daerah jajahan/negara di Asia dan Amerika Selatan selama periode ini (misalnya:
di Iran, Indonesia, Korea, Muang Thai, Chili, Mexiko). Pemerintah-pemerintah colonial
seringkali menghindari perkembangan koperasi-koperasi modern, yang diprakarsai oleh
penduduk setempat, kecuali di daerah-daerah dimana tinggal para petani Eropa,
yang menbentuk koperasi di kalangannya sendiri; dan juga di daerah-daerah,
dimana terdapat hubungan antara koperasi dan pergerakan kemerdekaan (misalnya
di Indonesia dan di Kenya).
(3)
Penyebaran koperasi-koperasi pertanian selanjutnya berlangsung selama periode
dari tahun 1945 sampai dengan awal Dasawarsa Pembangunan PBB I. Konperensi
pangan dan Pertanian Internasional, tahun 1943 di Hot Springs (Virginia, USA,
Resolution XVII) menekankan pentingnya organisasi (swadaya)koperasi. Untuk
mendorong pertumbuhan koperasi, berbagai kegiatan pemerintah telah dilakukan
pula selama tahap ini. Kegiatankegiatan ini telah dilaksanakan oleh Penguasa
colonial Inggris dan Perancis di Afrika, pemerintah-pemerintah negara-negara
Asia, terutama setelah proklamasi kemerdekaanya (seperti di India dan di
Indonesia), dan juga oleh beberapa negara di Amerika Selatan.
(4)
Selama Dasawarsa Pembangunan PBB I (1960-1970) penyebaran dan pertambahan jumlah
koperasi ‘modern’, terjadi di banyak negara berkembang. Pemerintah-pemerintah dari
negara-negara di Afrika yang baru merdeka, demikian pula banyak pemerintah
negaranegara di Asia dan Amerika Selatan mulai mendorong pembentukan koperasi
(dengan bantuan bilateral dan internasional) dan memanfaatkannya sebagai sarana
pembangunan pertanian. Sejumlah kesimpulan dan rekomendasi telah dikeluarkan
oleh organisasiorganisasi internasional, mengenai peranan penting, yang dapat
dimainkan oleh koperasi dalam pembangunan sosial-ekonomi, dan mengusulkan
pemerintah-pemerintah untuk mendorong perintisan dan pengembangan organisasi-organisasi
swadaya; misalnya: Resolusi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 1966
(Recommendation No. 127); Resolusi Rapat Umum PBB 2459 (XXIV) tahun 1968; Resolusi
1413, 1969, Dewan Sosial dan Ekonomi PBB. Harapan yang muluk-muluk atas
berbagai dampak terhadap pembangunan yang ditimbulkan oleh
organisasi-orgnaisasi koperasi yang berusaha secara efisien, seringkali terlihat
dalam evaluasi umum yang bersifat politis terhadap koperasi dalam kebijakan pembangunan.
Seringkali koperasi, quasi-definisinya, dianggap sebagai organisasi swadaya
yang otonom, partisipatif dan demokratis dari rakyat kecil (petani, pengrajin, pedagang,
pekerja/buruh), dan, kadang-kadang, dianggap, secara otomatis, mampu melaksanakan
berbagai fungsi dengan berhasil, seperti: menunjang usaha-usaha anggota untuk
meningkatkan pendapatannya, mengamankan dan memperbaiki eksistensinya, menawarkan
berbagai kemudahan di bidang pendidikan dan latihan, dan, juga mampu menumbuhkan
keyakinan di antara mereka tentang kemanfaatan dari solidaritas. Sekaligus, seringkali
koperasi mampu diharapkan, misalnya, berperan secara intensif dalam proses pembangunan
sosial-ekonomi negara-negara tertentu, menimbulkan dampak-dampak tertentu ke
arah perbaikan sistem ekonomi, memberikan sumbangan ke arah penyelesaian masalah-masalah
sosial, demikian pula, menunjang terwujudnya proses demokratisasi dan mengurangi
stratifikasi dalam sistem sosial yang tradisional. Hal-hal inilah, yang mungkin
merupakan alasan-alasan utama berbagai bantuan internasional dan dukungan
pemerintah, yang seringkali intensif dalam pembentukan berbagai jenis koperasi,
terutama di kawasan pedesaan.
Koperasi-koperasi
itu biasanya dilibatkan dalam penerapan berbagai proyek dan program yang
dirancang untuk menginduksi perubahan yang direncanakan dan untuk memajukan pertanian
yang masih bersifat tradisional. Koperasi-koperasi itu diintegrasikan dalam
pelaksanaan berbagai program untuk: penyaluran kredit-kredit pertanian; pengadaan
sarana produksi pertanian, perkakas/peralatan, mesin-mesin, dan barang-barang
keperluan sehari-hari;pemasaran dan pengolahan hasil-hasil pertanian, dan
penyuluhan pertanian. Selain itu, koperasi-koperasi itu dimanfaatkan pula pada
proyek-proyek pembukaan tanah dan pemukiman, pembangunan pedesaan, dan
pembaharuan sistem agraria dan pemilikan tanah, dimana sebagian besar atau
seluruh kegiatan proyek diintegrasikan padanya.
(5)
Dasawarsa Pembangunan PBB II (1970-1980), yang oleh Aliansi Koperasi
Internasional (ICA) diumumkan sebagai “Dasawarsa Pembangunan Koperasi” (ICA,
1971), dapat dianggap sebagai suatu tahap diskusi yang kritis dan controversial
mengenai koperasi dan maksud-maksud untuk mengkonsolidasi, mereorganisasi dan
meningkatkan pembangunan koperasi pedesaan serta penyusunan strategi yang
diterapkan untuk mendorong perekembangannya. Sejak awal tahun tujuh puluhan,
organisasi-organisasi yang secara umum terdaftar sebagai koperasi menjadi
sorotan utama dalam berbagai kritik (c.f. e.g. UNRID, 1969-1972). Hal ini dapat
dilihat dalam kaitan dengan evaluasi-evaluasi kritis atas strategi-strategi
pembangunan, sebagaimana secara resmi dinyatakan oleh Presiden Bank Dunia, R.
McNamara, di Nairobi tahun 1973 (c.f. The Assault on World Poverty, 1975,
hal.90 dan seterusnya).
‘Kemiskinan
Mutlak’ kelihatannya terpusat di daerah-daerah pedesaan Asia dan negaranegara
Bagian Selatan Sahara di Afrika. Mengingat bahwa sebagian besar
pemerintah-pemerintah di negara-negara ini mendorong pembentukan koperasi
secara cepat dan memanfaatkan organisasi lokal ini sebagai alat pemerintah
dalam berbagai kebijakan dan program pertanian, dan sebagai ‘agen’ dalam menginduksi
perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang terencana secara sentral, dan dalam
pembangunan pertanian, maka dapatlah dimengerti jika penilaian-penilaian yang kritis
itu diarahkan pada strategi pembangunan nasional dan internasional, termasuk strategi
pembangunan koperasi pada khususnya.
-Kekecewaan dan Kritik Terhadap Koperasi Modern Dalam
Rangka Kebijakan
Pembangunan
Kekecewaan
terhadap hasil-hasil yang dicapai menimbulkan suatu kecenderungan untuk mevaluasi
negatif secara keseluruhan terhadap koperasi-koperasi ‘modern’ dalam rangka
kebijakan pembangunan. Kritik-kritik pada awal dasawarsa pembangunan PBB kebua,
secara khusus, menyangkut:
(1)
Dampak terhadap pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari koperasi, yang khususnya
disebabkan karena ia tidak memberikan sumbangan dalam mengatasi kemiskinan dan
dalam mengubah struktur kekuasaan sosial politik setempat bagi kepentingan
golongan masyarakat yang miskin;
(2)
Jasa-jasa pelayanan yang diberikan oleh koperasi seringkali dinilai tidak
efisien dan tidak mengarah pada kebutuhan para anggotanya, bahkan sebaliknya,
hanya memberikan manfaat bagi para petani besar yang telah maju;
(3)
Tingkat efisiensi perusahaan-perusahaan koperasi rendah (manajemen tidak mampu,
terjadi penyelewengan, korupsi, nepotisme dan lain-lain);
(4)
Tingkat ofisialisasi yang seringkali terlalu tinggi pada koperasi-koperasi
(pertanian), ditandai oleh adanya pengawasan dan dukungan/bantuan negara yang
terlalu besar; struktur pengambilan keputusan dan komunikasi seringkali memperlihatkan
struktur yang hampir sama seperti pada instansi-instansi pemerintah dan lembaga-lembaga
semi pemerintah, ketimbang sebagai suatu organisasi swadaya yang otonom,
partisipatif dan berorientasi pada anggota, sungguhpun cirri-ciri tersebut
dipandang perlu untuk dikembangkan;
(5)
Kesalahan-kesalahan dalam pemberian bantuan pembangunan internasional, dan, khususnya,
kelemahan-kelemahan pada strategi pembangunan pemerintah yang diterapkan untuk
menunjang organisasi-organisasi koperasi. Dalam pembahasan berkut ini,
evaluasi-evaluasi secara kritis lebih dipusatkan pada:
(1)
Strategi pemerintah dalam menunjang perintisan dan pembentukan koperasi
(2)
Inkonsistensi (dalam konsepsi) menyangkut.
a)
Pengawasan langsung terhadap organisasi koperasi sebagai instrument pemerintah
dan sebagaiagen lokal dari birokrasi pemerintah dan semi pemerintah, untuk
mencapai tujuan-tujuan makro pemerintah, seperti yang dirumuskan dalam program
pembangunan negara-negara berkembang; dan sekaligus;
b)
Harapan agar koperasi dapat berkembang secara baik sebagai instrument swadaya para
anggotanya dalm menunjang kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok; dan
(3)
Struktur organisasi dari banyak ‘koperasi resmi’ yang diciptakan dalam praktek
(lihat misalnya Hanel, 1983, I, hal.83; Khan, 1980, hal.57 dan seterusnya). Sehubungan
dengan perdebatan-perdebatan yang terjadi, timbulah : (1) Kesangsian terhadap
relevansi dari criteria yang diterapkan dalam evaluasi umum yang bersifat
negatif, terhadap koperasi-koperasi modern di negara-negara berkembang; (2)
Penekanan terhadap perbedaan antara; (a) konsepsi-konsepsi organisasi swadaya
koperasi yang otonom, dan (b) koperasi-koperasi yang diciptakan oleh badan-badan
resmi (lihat butir 2.3.3.). (3) Penekanan terhadap tidak adanya efisiensi pada
strategi penunjang yang diterapkan dalam pembentukan koperasi(c.f. butir 5.4.1.).
(4) Penekanan terhadap ketidak-tepatan dan inkonsistensi kondisi-kondisi umum yang
diperlukan bagi perkembangan secara bertahap dan pembangunan organisasi swadaya
koperasi yang otonom (lihat butir 4.3.3.), dan akhirnya, (5) Penekanan terhadap
tidak adanya efektivitas dari organisasi-organisasi modern (nonkoperasi)
lainnya, yang seringkali semakin besar dalam menggapai dan melayani ‘kaum
miskin’, dan dalam memberikan kontribusi untuk mengurangi dualism
sosial-ekonomi yang ada. Sebagai konsekuensi dari alasan-alasan di atas, maka
selain ditegaskan kembali pentingnya koperasi dan organisasi swadaya bagi
proses pembangunan, secara ekplisit, ditekankan pula aspek-aspek partisipasi
anggota, swadaya, demokrasi dan otonomi (lihat misalnya the Peasants charter,
1981, hal.3 dan hal. 13 dan seterusnya dan butir
Selanjutnya,
istilah “koperasi yang otonom ‘atau’ organisasi swadaya koperasi” seringkali
digunakan untuk menunjukkan perbedaannya terhadap lembaga-lembaga koperasi yang
didirikan oleh badan-badan resmi.
Sebagai kesimpulan dapat
dikatakan bahwa Dasawarsa Pembangunan PBB pertama, sehubungan dengan peran
koperasi di negara-negara berkembang, merupakan tahap optimism, sedang
dasawarsa kedua merupakan dasawarsa yang pesimis; sejak tahun delapan puluhan
penilaian yang lebih realistis terhadap kondisi dan kemungkinan pembentukan organisasi
swadaya koperasi dan kontribusinya terhadap proses pembangunan sosial-ekonomi benar-benar
merupakan hasil dari berbagai diskusi yang kontraversial sebelumnya.
-Struktur
Organisasi Koperasi Pedesaan dan Lembaga-Lembaga Penunjang
Pengembangan
Koperasi’
Setiap upaya untuk menyajikan
informasi singkat mengenai struktur organisasi dan kegiatan koperasi pedesaan
di ‘Dunia Ketiga’ harus memperhatikan keaneka-ragaman bentuk organisasi ini di
berbagai negara (lihat misalnya Dulfer, 1974, hal.64 dst.).
Jumlah koperasi yang terbesar
adalah koperasi-koperasi pemberi berbagai jenis jasa pelayanan, yang diharapkan
dapat menunjang usaha-usaha ekonomi para anggotanya (unit usaha pertanian,
satuan-satuan usaha dan rumah tangga), dengan menyediakan dan menawarkan barang
dan jasa, melalui penyaluran sarana produksi (dan juga barang-barang konsumsi),
kredit, nasihat, pemasaran, pengolahan dan lain-lain. (Untuk negara-negara di
Asia Tenggara, lihat Baldus et al), 1980, Vol.1, hal.95 dst). Selanjutnya,
juga, melalui penyediaan ‘collective goods’ atau ‘public goods’ yang sebahagian
dihasilkan dan ditawarkan secara koperatif, sungguhpun dalam volume yang
relative kecil, karena tugas-tugas ini biasanya dianggap sebagai bagian dari
kebijaksanaan infrastruktur Pemerintah. Bagaimanapun, keterlibatan koperasi
dalam menangani jasa-jasa komunal, seperti listrik, penyediaan air, pembangunan
jalan dan sebagainya, untuk kepentingan peningkatan infrastruktur setempat patut
disebut dalam hubungan ini.
Berbeda dengan koperasi-koperasi
pemberi pelayanan semacam itu (service/promotion Cooperatives),
koperasi-koperasi produksi (productive/production Co-operatives), koperasi produsen
atau koperasi para pekerja (workers Co-operatives) kurang berhasil di banyak negara,
Karena masalah-masalah khusus yang berkaitan dengan jenis koperasi ini, sampai saat
ini praktis belum dapat diatasi. Sungguhpun demikian, percobaan dan upaya untuk
mendirikan koperasi-koperasi tipe ini telah dilakukan di berbagai negara
(seperti kibbuz di Israel, Kolhoz yang dikembangkan dalam rangka penerapan
strategi pembangunan agrarian dan indusri di Soviet Uni; Komune rakyat di
Republik Rakyat Cina), demikian pula bentukbentuk kerja-sama asli (seperti
Ejido di Meksiko dan konsepsi Ujamaa di Tanzania), merupakan
contoh-contoh
perintisan berbagai bentuk ‘koperasi produk
Sepanjang menyangkut struktur
organisasi dari ‘koperasi-koperasi pemberi pelayanan’ – sebagai suatu bangunan
organisasi yang rumit, yang terdiri dari perusahaan koperasi dan perusahaan/usaha
para anggotanya – maka tipe ‘koperasi mata rantai tata niaga (marketlinkage Co-operative)
(lihat butir 2.3.6. dan 3.4.1) kelihatannya lebih dominan, sungguhpun bentuk-bentuk
‘koperasi yang terpadu’ (integrated Co-operative) atau ‘koperasi penunjang produksi’
(production-promotion Co-operative) lebih banyak dikembangkan. Sesuai dengan fungsi-fungsi
yang dilaksankan, koperasi serba-usaha (multipurpose-/multiproduce
Cooperatives) lebih dominan, dan diharapkan dapat menawarkan berbagai jenis
barang dan jasa yang dibutuhkan anggotanya. Untuk meningkatkan ‘efisiensi
ekonomis’ dari koperasi-koperasi primer, maka selama tahun-tahun terakhir ini
sering diadakan amalgamasi dalam rangka menbentuk koperasi-koperasi ini
berkedudukan di pusat-pusat administrasi tertentu dan bertugas melayani para
anggota (kadangkala juga ‘bukan anggota’), yang tinggal di beberapa desa dan membentuk
kelompok-kelompok yang agak besar dan heterogen; koperasi-koperasi primer itu
pada umumnya berafiliasi pada organisasi-organisasi koperasi tingkat sekunder
atau tertier (organisasi pusat dan federasi), yang terdapat di tingkat regional
dan nasional.
Sebagaimana telah diuraikan
diatas, pemerintah negara-negara berkembang telah mensponsori pembentukan
organisasi-organisasi koperasi ‘modern’ dan membentuk lembagalembaga pemerintah
yang khusus untuk tugas itu (seperti: departemen, direktorat, dinas-dinas khusus,
dan instasi-instansi semi pemerintah). Seringkali, fungsi-fungsi yang menunjang/mensponsori
pengembangan koperasi dilimpahkan pula kepada organisasiorganisasi pemerintah,
yang semula dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas yang agak lain (seperti
dinas land-reform, bank-bank pertanian) dan juga kepada organisasi-organisasi
swasta; organisasi-organisasi puncak koperasi juga diikutsertakan dalam
menangani tugas-tugas itu.
Lembaga-lembaga tersebut
(pemerintah, semi pemerintah atau swasta), yang dapat disebut sebagai lembaga
pendorong pengembangan koperasi atau lembaga pendorong pengembangan organisasi
swadaya, memperoleh dana dari luar – swata atau pemerintah – untuk membelanjai
kegiatan-kegiatannya dalam rangka memprakarsai dan mengembangkan koperasi agar
menjadi organisasi-organisasi (swadaya) koperasi yang efisien dan berorientasi pada
kepentingan anggota (lihat butir 2.2.5.).
Banyak
dari koperasi-koperasi, yang didirikan dengan bentuan yang lengkap dari
pemerintah dan lembaga-lembaga pendorong swadaya semi pemerintah, kelihatannya
masih berada pada tahap awal dalam pengembangan struktur organisasinya; mereka
masih belum mampu berkembang sebagai organsasi-organisasi koperasi swadaya yang
otonom tanpa bantuan keuangan dan manajemen, yang disediakan langsung oleh
pemerintah negara-negara berkembang itu (atau oleh badan-badan kerja sama
bilateral dan internasional). Hal ini terjadi, terutama pada koperasi-koperasi
yang para anggotanya berasal dari penduduk pedesaan yang tergolong masih sangat
‘miskin’. Dengan memperhatikan upaya ‘ofisialisasi’ pada banyak koperasi,
timbullah masalah menyangkut ‘transformasi struktur organisasi’, dalam arti,
bahwa sunnguhpun lembaga-lembaga itu didaftarkan menurut Undang-Undang Koperasi
dan diperkuat dengan dana yang cukup, namun mereka masih belum berkembang
sesuai dengan konsepsi organisasi yang ideal, yang mampu mengembangkan dirinya
sendiri (lihat butir 5).
Sungguhpun
sebahagian besar organisasi koperasi di negara berkembang merupakan
koperasi-koperasi pertanian atau koperasi-koperasi pedesaan, namun masih
terdapat pula berbagai jenis koperasi lain, yang juga berusaha di daerah
perkotaan, misalnya: koperasikoperasi konsumsi/konsumen, koperasi-koperasi
pembangunan perumahan, berbagai jenis koperasi para pengrajin,
koperasi-koperasi industriawan kecil, koperasi-koperasi pedagang eceran,
koperasi-koperasi para pekerja, dan lain-lain.
-Bentuk-Bentuk Kerja Sama Tradisional dan Organisasi-Organisasi Swadaya
Asli
Selain
koperasi-koperasi ‘modern’ (menurut pengertian hukum), di banyak negara
berkembang masih terdapat pula berbagai jenis usaha swadaya kolektif dan kerja
sama tradisional, ‘transitoris’ dan ‘quasi modern’ (lihat misalnya:
Seibel/Damachi, 1982; Kirsch et al., 1980; Kirsch et al., 1983: Chukwu, 1985;
Mtula 1985).
Apa
yang disebut sebagai ‘koperasi-koperasi asli’ atau ‘organisasi-organisasi
swadaya asli’ ini seringkali adalah prakoperasi atau koperasi dalam pengertian
sosial-ekonomis, yang tidak diorganisasikan menurut suatu Undang-Undang Modern.
Anggota-anggotanya
adalah sebahagian besar para petani kecil, para pengrajin, pedagangpedagang
eceran, dan pekerja-pekerja di daerah pedesaan dan didaerah perkotaan. Organisasi-organisasi
ini seringkali berusaha di sektor-sektor ‘tradisional’ atau ‘informal’. Kegiatan-kegiatannya,
meliputi: penyediaan jasa-jasa infrastruktur, sarana perumahan, pengadaan
sarana produksi dan barang-barang kebutuhan sehari-hari, pemasaran, dan terutama,
usaha simpan-pinjam dan perkreditan. (Untuk Indonesia, lihat misalnya: Bogor Agricultural
University, 1980, hal. 124 dst.; hanel, 1983, II, hal. 28 dst.).
Dilihat
dari cara-cara perintisan, dan juga dari jenis kegiatannya, seringkali,
terlihat ada banyak kesamaan dengan koperasi-koperasi ynag didirikan di Eropa
pada akhir abad yang lalu.
Npm: Dyah Ayu Lestari/22211290
Kelas/Tahun: 2EB09/2012
Sumbernya
dari : http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/08_10_Organisasi_Koperasi_1.pdf