PERUBAHAN PARADIGMA PERAN PEMERINTAH
DALAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM *
Oleh: Wahyudi Kumorotomo
3.
AFFIRMATIVE ACTION: KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG BERPIHAK KEPADA
KOPERASI
DAN UMKM
Asumsi
dasar yang melandasi perubahan paradigma peran pemerintah dalam
pemberdayaan
ialah bahwa kebijakan pemerintah harus berpihak. Inilah makna yang sesungguhnya
dari affirmative action bagi koperasi dan UMKM. Dalam hal koperasi dan UMKM
yang merupakan usaha ekonomi kerakyatan, pemerintah tidak mungkin mengandalkan mekanisme
pasar atau mengutamakan pendekatan formal sebagai landasan perumusan kebijakan.
Sebagai contoh, pemerintah tidak mungkin hanya sekadar mengimbau sektor
perbankan formal untuk membantu koperasi dan UMKM dalam bentuk kredit lunak,
atau fasilitas pembiayaan lainnya. Ini karena sektor perbankan komersial sudah
pasti akan menggunakan ukuran-ukuran formal dalam penilaian usulan kredit,
rencana bisnis, pengembangan produk, dan sebagainya, yang sudah pasti kurang
dimiliki oleh koperasi dan UMKM.
Oleh
karena itu, kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk membantu koperasi dan UMKM
secara sistematis dengan komitmen yang jelas kepada ekonomi rakyat, membangun berbagai
bentuk pola kerjasama bisnis yang sinergis, serta berbagai kebijakan yang jelas
dan terukur untuk menunjang setiap tahapan dalam daur bisnis, mulai dari
penyusunan rencana bisnis, pengembangan produk, pembiayaan, promosi produk,
hingga pengembangan kerjasama dalam bentuk riset terapan. Kebijakan yang
dirumuskan tentunya tidak hanya mengandalkan rumusan-rumusan makro dengan
memperbaiki iklim usaha, tetapi juga harus mengutamakan pendekatan mikro dengan
menyelami dan mengatasi berbagai bentuk hambatan yang dialami oleh para pelaku
bisnis dengan aset dan omzet yang kecil.
Tampak
bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membina koperasi dan UMKM
hendaknya meliputi banyak aspek yang terkait dengan lingkungan bisnis, aspek
inovasi yang menyangkut pengembangan produk, serta aspek informasi serta
pengetahuan yang akan menentukan kelestarian (sustainability) dari usaha maupun
produk yang dihasilkannya.
Pemerintah
harus bisa menciptakan insentif yang optimal sedemikian rupa sehingga pelaku bisnis
dalam koperasi dan UMKM mampu memanfaatkan faktor-faktor yang menguntungkan bagi
dirinya untuk bersaing dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif. Dalam
hal ini perlu diingat bahwa kebijakan pemerintah tidak mungkin dapat optimal jika
hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi makro. Sebaliknya, pendekatan
ekonomi mikro yang mampu memperbaiki jejaring bisnis serta menunjang setiap
titik siklus bisnis, inovasi produk, dan dukungan lembaga publik di tingkat
pusat dan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan koperasi dan
UMKM.
Inovasi
produk merupakan hal yang sangat penting bagi koperasi dan UMKM supaya dapat
bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki modal kuat, jaringan
yang luas dan volume produksi yang massal. Oleh sebab itu pemerintah hendaknya
memberikan insentif dan dukungan yang luas bagi inovasi produk serta sistem
pemasaran bagi pelaku usaha kecil yang sangat spesifik tersebut. Sebagai
contoh, dukungan itu dapat berupa perlindungan paten atau standarisasi. Daro
pengalaman di banyak negara, inovasi produk yang mendapat perlindungan paten
akan memberi keuntungan luar biasa bagi usaha kecil dan merangsang inovasi-inovasi
secara berkelanjutan. Produk sederhana berupa kertas memo berperekat dengan merek
”Post-it”, misalnya, merupakan inovasi tidak sengaja oleh industri kecil yang
kemudian dikembangkan oleh perusahaan besar 3M. Inovasi pembuka kaleng minuman
ringan (”ring-pull cans”) ditemukan oleh pertama kali oleh perusahaan kecil
yang tetap memiliki paten-nya sekalipun sudah secara luas dipergunakan di
Amerika Serikat dan seluruh dunia oleh Coca-cola dan Pepsi. Demikian pula, teh
dari bunga Chrysantimum atau Rosela kini telah diperjuangkan paten-nya oleh
sebuah koperasi di Malaysia (www.wipo.int/sme/). Yang dibutuhkan dari pemerintah
untuk pengembangan produk-produk inovatif semacam itu adalah perlindungan hak paten
yang jelas serta suasana kompetitif yang baik sehingga terdapat penghargaan
yang pasti bagi upaya koperasi dan UMKM untuk melakukan berbagai terobosan ide
bagi dunia bisnis.
Pemanfaatan
jaringan antara koperasi dan UMKM dengan perguruan tinggi dan lembaga riset
demikian penting bagi berkembangnya inovasi produk maupun pengkaderan wirausahawan
sejak dini. Selain dalam berbagai bentuk program inkubator bisnis di perguruan
tinggi, program seperti pengalokasian dana Iptekda (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi untuk Daerah) bekerjasama dengan LIPI perlu dikembangkan dan
ditingkatkan efektivitasnya bagi penyiapan kader-kader usahawan yang potensial.
Evaluasi juga perlu dilakukan untuk melihat program mana yang paling tepat guna
membantu unit-unit kegiatan koperasi dan UMKM.
Sudah
barang tentu, dukungan kebijakan pemerintah yang berupa kemudahan akses terhadap
modal juga masih tetap diperlukan. Dukungan tersebut hendaknya tetap terwujud
dalam komitmen jangka menengah. Kecuali itu, dukungan pemerintah juga sangat
menentukan dalam kasus-kasus khusus di daerah tertentu yang tidak mungkin diselesaikan
oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Misalnya, setelah gempa bumi di Jogja
pada bulan Mei 2006, kondisi koperasi dan UMKM di daerah ini hampir semuanya
ambruk. Tercatat ada 17.526 kredit UMKM yang bermasalah dengan nilai mencapai
Rp 328 milyar. Pemda provinsi DIY dan kabupaten/kota telah merintis kerjasama
dengan perbankan, BPR (Bank Perkreditan Rakyat), atau BUKP (Badan Usaha Kredit
Pedesaan). Akan tetapi, besarnya persoalan karena kehilangan aset dan
faktorfaktor produksi tetap tidak memungkinkan pemulihan kegiatan produktif
koperasi dan UMKM dengan mengandalkan kebijakan lokal. Situasi kesehatan usaha
diantara koperasi dan UMKM pasca-gempa itu baru dapat diatasi dengan adanya
upaya sistematis dari pihak Bank Indonesia yang antara lain mengeluarkan
Peraturan No.8/10/2006 tentang perlakuan khusus terhadap kredit bank
pasca-gempa dan pasca bencana alam lainnya. Demikian juga, adanya penghapusan
kredit macet (haircut) bagi UMKM di bank pemerintah juga sangat membantu
pemulihan usaha diantara pelaku ekonomi kerakyatan yang sedang ambruk karena
bencana alam tersebut. Perhatian pemerintah semacam ini hendaknya juga berlaku
bagi pelaku industri kecil korban tsunami di Aceh dan Nias, gempa di Padang,
banjir di Manggarai, lumpur panas di Sidoarjo, dan di daerah-daerah lain yang
ditimpa bencana.
Affirmative
action hendaknya dilaksanakan dengan komitmen yang kuat dan visi yang jelas.
Sejak tahun 1970-an, sebenarnya pemerintah punya skema pengembangan yang cukup berhasil
melalui program BIPIK (Bimbingan dan Pengembangan Industri Kecil) yang dikhususkan
bagi pengusaha golongan ekonomi lemah. Tetapi belakangan program semacam ini surut
atau digantikan oleh program yang terpecah-pecah di beberapa departemen
sementara komitmen pemerintah sendiri terhadap koperasi dan UMKM tampak
melemah. Kelemahan komitmen dan visi hanya akan mengakibatkan munculnya
program-program yang mengakibatkan pemborosan dana sedangkan efektivitasnya
kurang dapat dijamin. Sinyal lemahnya komitmen pemerintah juga sering ditangkap
oleh perusahaan besar yang berniat melakukan kemitraan bisnis dengan koperasi
dan UMKM secara negatif. Beberapa contoh kebijakan Kredit Usaha Kecil (KUK)
menunjukkan hal ini. Melalui Peraturan Bank Indonesia No.3/2/PBI/2001 tentang
pemberian KUK, pihak BI ternyata tidak lagi mewajibkan tetapi hanya menganjurkan
kepada bank komersial untuk menyalurkan KUK sesuai dengan business plan mereka.
Kebijakan ini pasti akan segera ditangkap oleh perbankan sebagai menurunnya komitmen
pemerintah terhadap usaha kecil, bahwa pemerintah hanya memperhatikan usaha
dari para pemodal besar.
Insentif
pengembangan usaha yang berupa kredit lunak terbukti sangat efektif dalam membantu
koperasi dan UMKM. Dari sekitar 48,8 juta unit usaha kecil dan 106,7 ribu unit
usaha menengah dan 141,7 ribu koperasi pada tahun 2006, misalnya, peran bantuan
pemerintah dalam bentuk kredit lunak ternyata sangat berarti. Jika insentif
modal diberikan oleh pemerintah dengan cara yang tepat, perubahan produktivitas
koperasi dan UMKM juga meningkat secara signifikan. Untuk usaha koperasi,
pertumbuhan rasio modal sendiri dan modal luar juga meningkat dari 0,55 pada
tahun 2000, meningkat menjadi 0,63 pada tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi
0,77 pada tahun 2006 (Kementerian Negara Koperasi dan UMKM, 2006). Memang harus
diakui bahwa sampai sekarang masih banyak koperasi aktif yang belum dikelola
secara profesional. Kemampuan koperasi dalam meningkatkan nilai volume usaha
juga belum diiringi dengan penyediaan kemanfaatan yang maksimal bagi anggotanya.
Namun dengan pembinaan profesionalisme dan pengembangan sistem pengawasan yang tepat,
sebenarnya masih banyak yang dapat dibenahi dalam koperasi. Bagi UMKM,
intervensi pemerintah sebagai perwujudan dari affirmative action juga sangat
diperlukan mengingat bahwa ada banyak faktor yang sangat tergantung kepada
tindakan pemerintah. Sebuah penelitian di daerah menunjukkan bahwa faktorfaktor
yang mempengaruhi pengembangan usaha itu sebenarnya dapat dikendalikan melalui
peran
pemerintah. Lihat Bagan 2.
Selain
modal dan fasilitasi bagi inovasi produk melakui penerapan teknologi
tepat-guna, para pelaku usaha koperasi dan UMKM sebagian besar melihat
pentingnya fasilitasi untuk promosi dan penciptaan jejaring bisnis dengan mitra
yang potensial. Oleh sebab itu, sangat penting untuk melanjutkan berbagai
program seperti Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK) yang
dikembangkan oleh Bank Indonesia, pelatihan teknis kepada Business Development
Service Provider, penciptaan trading house di daerah-daerah yang potensial bagi
sentra industri kecil, dan semacamnya.
Tentu
saja proses pembinaan koperasi dan UMKM harus disertai juga dengan pola exit strategy
yang jelas agar setiap kelompok usaha terus meningkat kemandiriannya. Kriteria
untuk fasilitasi untuk setiap jenis usaha, yakni: usaha mikro, kecil, dan
menengah harus dipetakan
secara
jelas sehingga kebijakan pengembangan yang ditujukan bagi setiap jenis usaha
juga jelas. Dengan berlandaskan pada pasal (6) UU No.20/2008, tahapan-tahapan
fasilitasi mestinya sudah sama bagi setiap departemen. Jika sebuah usaha mikro
sudah berkembang menjadi usaha kecil karena asetnya sudah lebih dari Rp 50 juta
dan hasil penjualannya lebih dari Rp 300 juta, mestinya skema fasilitasi dan
bantuan teknis sudah masuk ke kategori kedua (usaha kecil) yang harus dibedakan
dengan usaha mikro. Demikian pula, jika sebuah usaha menengah sudah memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta dengan hasil penjualan lebih dari Rp 2,5
milyar, tentunya setiap departemen sudah harus mengkategorikannya sebagai
perusahaan besar yang tidak perlu difasilitasi lagi dengan program-program yang
berlaku bagi UMKM. Dengan cara ini, pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis
pada koperasi dan UMKM diharapkan akan terwujud dengan lebih efektif dan
efisien.
Nama/NPM:
Dyah Ayu Lestari
Kelas
Tahun:2EB09/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar