Koperasi Karyawan.
antara pola sub-kontrak dan
aktualisasi ekonomi pekerja.
Sebuah studi bandin.
Oleh
Irsyad Muchtar*
Pendahuluan
Definisi
dan Ruang Lingkup
Nama koperasi karyawan (kopkar) di Indonesia sudah
dikenal sangat luas dengan terminologi koperasi fungsional yang hidup di
lingkungan perusahaan. Keberadaannya merupakan manifestasi dari upaya
penciptaan nilai tambah ekonomi di kalangan karyawan berpenghasilan rendah. Dan
sekaligus sebagai implementasi dari esensi koperasi sebagai alat pemerataan pendapatan.
Kendati keberadaannya sangat tergantung pada komitmen perusahaan, namun kopkar
bukan perpanjangan tangan, apalagi alat penekan bagi kepentingan perusahaan.
Kopkar justru subjek dan mitra usaha perusahaan. Dunia perkoperasian juga mengenal
istilah Koperasi Pekerja ( Worker Cooperative). Kendati hampir mirip dengan sebutan
kopkar . bahkan Departemen Tenaga Kerja tidak membedakan antara keduanya -
namun terdapat perbedaan substantif. Koperasi pekerja adalah sebuah bangun usaha
produktif.
Para anggotanya
berposisi sebagai pekerja, pemilik dan sekaligus majikan. Hasil koperasi
pekerja tidak dikonsumsi oleh anggotanya sendiri, tapi dipasarkan. Karenanya,
koperasi pekerja sering disebut sebagai koperasi produksi (production
co-operative). Sedangkan kopkar, adalah istilah umum yang lebih dulu kita kenal
. Koperasi ini beranggotakan karyawan-karyawan perusahaan dan melakukan
kegiatan yang hasilnya dikonsumir oleh anggotanya sendiri, seperti
barang-barang konsumsi, kredit, perumahan dan sejenisnya. Koperasi ini
digolongkan sebagai koperasi konsumsi1. Kapan kopkar mulai dikenal dan akrab di
telinga khalayak ramai. Hampir tidak ada data pasti, karena keberadaan kopkar memang
tidak diatur secara khusus oleh undang-undang ataupun peraturan pemerintah
lainnya. (bandingkan dengan KUD, KSU atau KSP).
Sebagai
patokan, awal keberadaan
kopkar
di perusahaan swasta kiranya dapat mengacu pada saat lahirnya UU No 12 tahun
1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Dalam UU yang merupakan revisi terhadap
UU No 14 Tahun 1965 ini, pada penjelasan pasal 17 tentang jenis koperasi
dimungkinkan tumbuhnya koperasi-koperasi fungsional.
Istilah
fungsional sebenarnya tidak dikenal dalam dunia perkoperasian yang hanya mengenal
istilah koperasi konsumen, produsen dan kredit.
Setelah
dibelakukan UU No 12 Tahun 1967, koperasi fungsional pun marak. Ditandai dengan
munculnya koperasi di lingkungan Angkatan Bersenjata (kini TNI). Di kalangan
pegawai negeri sipil (PNS) sudah lebih dulu muncul koperasi dengan nama
Koperasi Pegawai Negeri (KPN) pada 1954. Sedangkan di lingkungan dunia usaha
dikenal pula istilah Koperasi Kerja Indonesia (Koperindo) dan Koperasi Buruh
Indonesia (Kobin). Kemudian sejak Januari 1986 kedua koperasi tersebut bernaung
di bawah Induk Koperasi Pekerja Indonesia (Inkoperindo), dan selanjutnya
berubah nama menjadi Inkopkar.2 Jika mengacu pada prinsip perkoperasian dunia,
kemunculan koperasi golongan fungsional merupakan sebuah antitesa. Keanggotaan
koperasi yang semula sukarela dan terbuka, sudah tidak berlaku lagi.3 Posisi
keanggotaan dalam koperasi golongan fungsional tidak bisa bebas dan terbuka,
tetapi bersifat tertutup atau hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
profesi sejenis.4 Persoalannya, apakah dengan adanya pelencengan prinsip
berkoperasi itu, keberadaan kopkar menjadi tidak jelas? Tidak mudah menjawab
pertanyaan ini. Apalagi dalam iklim Perkoperasian di
Indonesia
yang sudah lama salah kaprah. Kopkar memang merupakan anomali yang dilegalisir
oleh ketentuan perundangundangan pemerintah seperti tercantum dalam penjelasan
pasal 16 UU No 25 Tahun 1992. Dasar untuk menentukan jenis Koperasi adalah
kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya, seperti
Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi
Pemasaran dan Koperasi Jasa.
Pada
baris terakhir penjelasan pasal itu disebutkan: Khusus koperasi yang dibentuk
oleh golongan fungsional seperti pegawai negeri, anggota ABRI, karyawan dan sebagainya,
bukan merupakan jenis Koperasi tersendiri. Penjelasan tersebut ingin mengatakan
bahwa koperasi fungsional bukan bersifat khusus meskipun keberadaannya tidak berada
dalam jangkauan wilayah umum. Namun, dengan keterbatasan jangkauan secara umum
itu justru membuat kopkar menjadi sangat khusus, bahkan bisa digolongkan pada
pseudo koperasi (koperasi semu). Keberadaan kopkar memang unik. Tidak seperti
koperasi lainnya, seperti KSP atau KUD, kiprah kopkar jauh dari gemerlap program
bantuan dan pemberdayaan pemerintah. Boleh dibilang, hampir tidak ada program
pemberdayaan
koperasi
oleh pemerintah yang mengucur ke kopkar. Di masa Orde Baru, pernah muncul gebyar
alih saham perusahaan ke
koperasi,
yang ditimpali dengan munculnya banyak kopkar. Tetapi gebrakan tersebut lebih
bernuansa politis ketimbang pemberdayaan koperasi. Hasilnya, bagai gelembung
buih sabun, alih saham hilang begitu saja. Sampai kini tidak ada koperasi yang
mengklaim kepemilikan sahamnya di perusahaan besar. Apakah kopkar termasuk
kelas koperasi genuine (sejati) yang mampu tumbuh atas partisipasi murni para
anggotanya? Tampaknya agak sulit mencari kopkar yang tumbuh hanya mengandalkan partisipasi
modal anggota an sich!. Kebanyakan kopkar tumbuh karena dukungan modal,
fasilitas dan hubungan kerja dengan induk perusahaannya. Tulisan ini mencoba
menelisik kiprah dan perkembangan kopkar dalam korelasinya dengan induk perusahaan.
Berapa jauh peranan perusahaan memajukan koperasi dan apa dampaknya jika
dukungan perusahaan melemah terhadap kopkar.
Nama/Npm: Dyah Ayu Lestari/22211290
Kelas/Tahun: 2EB09/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar