PERUBAHAN PARADIGMA PERAN PEMERINTAH
DALAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM *
Oleh: Wahyudi Kumorotomo
4.
KOORDINASI KEBIJAKAN
Pemberdayaan,
fasilitasi, dan pengembangan koperasi dan UMKM hanya dapat berjalan secara
efektif apabila koordinasi diantara para perumus kebijakan pemerintah, pelaku
ekonomi swasta, masyarakat konsumen dan semua pemangku kepentingan
(stake-holders) berlangsung secara baik. Yang jauh lebih penting dalam hal ini
adalah koordinasi diantara kementerian, departemen, dan lembaga pemerintah yang
bersinggungan dengan usaha koperasi dan UMKM baik di tingkat pusat maupun
daerah. Koordinasi sejauh ini masih merupakan persoalan tersendiri sehingga
dalam jangka menengah harus segera dibuat lebih jelas dan tegas.
Masalah
koordinasi seringkali terjadi sejak penentuan kategori usaha, prosedur pembinaan,
fasilitasi modal, hingga promosi produk-produk yang dihasilkan. Kecuali itu masalah
koordinasi juga terjadi dalam hal pendekatan, prioritas, sektor kebijakan yang
terlibat, tingkat partisipasi koperasi dan UMKM yang diperlukan dalam ekonomi
nasional, hingga indikator kinerja dan target regulasi yang harus ditetapkan.
Sebagai contoh, sebuah kajian menunjukkan bahwa sekarang ini ada lebih dari 30
program pendampingan teknis koperasi dan UMKM di Indonesia yang tersebar di
beberapa departemen (Setyari, 2007). Tetapi sebagian besar dari program
pendampingan tersebut pengaruhnya terlalu sedikit bagi pengembangan
koperasi
dan UMKM. Disamping karena terbatasnya dana yang dialokasikan sedangkan jumlah koperasi
dan UMKM yang ada sangat banyak, banyak program yang sifatnya tumpang-tindih dan
mengulang-ulang topik yang sama sehingga kurang mampu menjawab tantangan bisnis
yang sesungguhnya di lapangan.
Koordinasi
tampaknya juga akan menjadi persoalan jika interpretasi setiap departemen atas
peraturan perundangan mengenai koperasi dan UMKM masih berbeda-beda. Misalnya,
UU No.20/2008 telah menegaskan bahwa kriteria sebagai dasar penetapan jenis
usaha mikro, kecil dan menengah dibuat menurut kekayaan bersih tidak termasuk tanah
dan bangunan serta hasil penjualan tahunannya (pasal 6 ayat 1-4). Tetapi di
dalam praktik tidak semua kementerian dan lembaga pemerintah punya persepsi
yang sama. Kementerian koperasi dan UMKM masih melihat pentingnya kriteria
usaha mikro, kecil dan menengah berdasarkan omzet dan aset yang dimiliki.
Tetapi dalam hal pendataan koperasi dan UMKM, pihak BPS (Badan Pusat Statistik)
masih lebih mengutamakan kriteria berdasarkan jumlah tenaga-kerja yang terserap
oleh usaha yang bersangkutan. Itulah sebabnya data statistik yang diperoleh
Kementerian koperasi dan UMKM seringkali tidak sinkron dengan data dari BPS.
Sementara itu, pihak BI (Bank Indonesia) lebih mengutamakan perhitungan aset
dan keadaan keuangan yang biasanya terdapat dalam neraca dan laporan rugi-laba.
Masalahnya ialah bahwa kebanyakan koperasi dan UMKM masih lemah dalam sistem
pencatatan keuangan.
Untuk
melaksanakan berbagai kebijakan yang menyangkut koperasi dan UMKM, banyak hal
yang harus dilakukan dan tidak mungkin ditangani hanya oleh satu kementerian
atau departemen saja. Aspek-aspek yang perlu ditangani agar iklim usaha
berpihak kepada koperasi dan UMKM itu adalah:
•
Pendanaan
•
Sarana dan prasarana
•
Informasi usaha
•
Kemitraan
•
Perizinan usaha
•
Kesempatan berusaha
•
Promosi dagang
•
Dukungan regulasi dan kelembagaan.
Untuk
aspek pendanaan dan kesempatan berusaha, misalnya, koordinasi harus dijalin antara
Bank Indonesia, bank komersial milik pemerintah, atau bank komersial milik
swasta. Di dalam praktik, kurangnya koordinasi seringkali menghambat
pemanfaatan sumberdaya finansial secara efektif. Sebagai contoh, catatan dari
Bank Indonesia pada tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa realisasi kredit bagi
usaha mikro dan kecil menunjukkan penurunan sebesar 2,3 persen. Tetapi di sisi
lain ada sekitar Rp 230 triliun dana publik yang mandek dalam bentuk Sertifikat
Bank Indonesia (SBI). Untuk mengatasi masalah ini, koordinasi kebijakan
tampaknya tidak cukup hanya antara Kementerian UMKM, BI atau bank komersial
milik pemerintah saja, tetapi juga harus melibatkan pihak pemerintah daerah
yang selama ini lebih memilih menanam dana menganggur dari APBD dalam bentuk
SBI atau surat berharga lainnya.
Koordinasi
kebijakan dengan lembaga-lembaga keuangan dan perbankan sangat diperlukan agar
garis kebijakan yang diambil untuk membantu koperasi dan UMKM dapat dijadikan
sebagai pegangan oleh semua pihak. Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi
persoalan
modal diantara koperasi dan UMKM adalah skema KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diberikan
sejalan dengan keluarnya Inpres No.6 tahun 2007. Program KUR dimaksudkan untuk meningkatkan
akses UKM dan usaha mikro terhadap kredit perbankan, khususnya kredit investasi.
Prioritas UKM diberikan kepada nasabah UKM baru agar mereka memiliki rekam kredit
(credit record) yang baik sehingga rencana bisnisnya bisa lebih layak
(feasible) dan sekaligus bisa masuk sebagai kategori usaha yang layak
memperoleh pinjaman dari bank
(bankable).
Namun
seringkali pelaksanaan program kredit murah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Pada awal tahun 2008, misalnya, pemerintah merevisi ketentuan Kredit Usaha Rakyat
(KUR) untuk memperluas akses pengusaha mikro dan kecil terhadap pinjaman yang dijamin
oleh pemerintah. Batas maksimal bunga pinjaman KUR diperlonggar dari 16% menjadi
24% dengan skema program linkage. Kementerian koperasi dan UKM sudah bersedia meningkatkan
dana penjaminan untuk maksud tersebut. Tetapi ternyata di lapangan pihak perbankan
swasta dan koperasi simpan pinjam justru banyak yang kurang setuju dengan
tingkat bunga yang diatur seperti itu dan memilih mekanisme pasar untuk
menentukan tingkat suku bunga. Untuk menjangkau peminjam hingga ke tingkat mikro,
tidak semua bank memiliki jaringan luas di pedesaan seperti BRI. Akibatnya
biaya pendanaan (cost of fund) tetap naik jika menggunakan skema program
linkage, sehingga batasan bunga sebesar 24% pun terkadang tidak realistis.
Sementara
itu, masalah koordinasi diantara kementerian dan departemen harus diupayakan
pada waktu lima tahun yang akan datang supaya kebijakan yang digariskan oleh
pemerintah pusat tidak simpang-siur. Misalnya, pihak Departemen Keuangan pernah
memblokir dana sebesar Rp 439,8 anggaran Kementerian Koperasi dan UKM pada
tahun 2008. Insiden pemblokiran itu terjadi karena tidak adanya kesepakatan
mengenai dana pemberdayaan bagi koperasi dan UMKM yang melalui dana Badan Layanan
Umum (BLU). Kementerian Koperasi dan UKM menganggap BLU sebagai belanja sosial
karena memang tugas utamanya adalah memberdayakan masyarakat, sehingga dana ini
fungsinya mirip dengan dana yang dialokasikan oleh Departemen Sosial. Tetapi
pihak Departemen Keuangan menganggap bahwa BLU adalah belanja modal sehingga
dana yang disalurkan harus dikembalikan lagi ke negara. Ketidaksamaan konsep
dan visi ini mengakibatkan terhentinya kebijakan yang sudah dirancang untuk
koperasi UMKM. Setelah berlangsung negosiasi lintas departemen yang berjalan
alot, barulah disepakati skema baru dana bergulir yang membedakan dengan skema
KUR. Pihak bank yang sudah terlibat dalam penyaluran KUR seperti BNI, BTN, Bank
Mandiri dan Bank Bukopin akhirnya tidak dilibatkan dalam skema dana bergulir
tersebut.
Selain
program-program dana bergulir yang memberikan fasilitas modal dengan suku bunga
ringan yang dijamin oleh pemerintah, program-program yang memang dimaksudkan untuk
memberdayakan koperasi dan UMKM harus terus ditingkatkan koordinasinya sehingga
setiap kementerian dan departemen memiliki pemahaman dan visi yang sama Dana
penguatan bagi koperasi dan UMKM yang baru saja merintis usahanya tetap
diperlukan di masa-masa mendatang. Skema pendanaan seperti Perkassa (Perempuan
Keluarga Sehat dan Sejahtera) dan P3KUM (Program Pembiayaan Produktif Koperasi
dan Usaha Mikro) hendaknya terus dikembangkan dengan koordinasi lintas
departemen yang terus ditingkatkan.
Di
tingkat daerah, koordinasi menjadi sangat penting untuk menunjukkan komitmen pemerintah
bagi pengembangan koperasi dan UMKM. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak
Gubernur, Bupati atau Walikota yang hanya mengutamakan kepentingan jangka
pendek dengan memprioritaskan peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena
itu, usaha-usaha berskala besar yang berpotensi menyumbang kepada PAD selalu
diutamakan sedangkan usaha mikro dan koperasi tidak lagi memperoleh perhatian
yang semestinya. Di banyak daerah, langkah dari pihak Pemda seringkali justru
mematikan usaha mikro dan koperasi tersebut. Izinizin baru bagi pasar swalayan
modern dan usaha perdagangan besar terus diberikan sedangkan melalui perangkat
justisi Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendapatan Daerah dikerahkan untuk
melakukan banyak penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL). Izin masuk
impor pakaian jadi dari Cina diberikan secara serampangan di banyak daerah sedangkan
para pengusaha garment dan konveksi yang berskala kecil dan menengah tidak
memperoleh perlindungan yang memadai. Akibatnya garis kebijakan yang diambil
bagi perlindungan koperasi dan UMKM seringkali bersifat mendua dan pada akhirnya
kurang berjalan secara efektif untuk membantu ekonomi kerakyatan yang sangat penting
bagi upaya pemberantasan kemiskinan.
Nama/Npm:
Dyah Ayu Lestari
Kelas/Tahun:
2EB09/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar