PERUBAHAN PARADIGMA PERAN PEMERINTAH
DALAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM *
Oleh: Wahyudi Kumorotomo
2.
FASILITASI PEMERINTAH
Komitmen
dan perhatian yang besar dari pemerintah sangat diperlukan agar pelaku usaha yang
tergabung dalam koperasi dan UMKM dapat meningkatkan terus daya-saingnya berhadapan
dengan perusahaan-perusahaan yang berskala besar. Komitmen ini dapat
ditunjukkan dengan rencana yang berkesinambungan dari rencana program jangka
menengah yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada RPJM Nasional tahun 2004-2009
prinsip-prinsip pengembangan koperasi dan UMKM telah dikembangkan dengan arah
sebagai berikut:
a)
Perluasan basis usaha dan penumbuhan wirausaha baru berkeunggulan untuk mendorong
pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Strategi pokok yang dilaksanakan
untuk mencapai tujuan ini adalah: 1) meningkatkan perpaduan antara tenaga kerja
terdidik dan terampil dengan adopsi teknologi, 2) pendekatan klaster di sektor
agribisnis dan agroindustri yang disertai kemudaan dalam pengelolaan usaha, 3) mengembangkan
peran koperasi dan UMKM dalam proses industrialisasi, dan 4) mengintegrasikan
pengembangan usaha di tingkat regional.
b)
Penguatan kelembagaan koperasi dan UMKM, yang dilaksanakan dengan strategi: 1) perluasan
akses kepada sumber permodalan, terutama perbankan, 2) memperbaiki lingkungan
usaha dan prosedur perijinan, dan 3) memperluas dan meningkatkan kualitas
institusi pendukung non-finansial.
c)
Pengembangan koperasi dan UMKM untuk berperan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi,
penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya-saing. Khusus bagi usaha skala
mikro, pengembangan diarahkan untuk peningkatan pendapatan kelompok masyarakat
yang berpenghasilan rendah.
d)
Pengembangan koperasi dan UMKM sebagai penyedia barang dan jasa di pasar
domestik.
Strategi ini sangat penting agar masyarakat banyak tidak tergantung kepada produk-produk
impor yang melemahkan ketahanan ekonomi rakyat secara keseluruhan.
Strategi pengembangan di atas dapat
dilanjutkan dengan melihat kelemahan-kelemahan yang dihadapi dalam pelaksanaan
masing-masing strategi. Komitmen diperlukan melalui kerangka kebijakan nasional
yang terwujud dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang bersifat tahunan. Namun
perlu juga diingat bahwa pelaksanaan strategi jangka menengah di masa mendatang
tidak hanya didukung oleh jajaran pemerintah pusat, tetapi juga oleh para
pejabat pemerintah daerah. Ini penting disadari mengingat bahwa mulai tahun
anggaran 2008, besaran dana yang telah dikelola oleh pemerintah daerah sudah
mencapai 65% dari volume APBN.
a. Pemerintah Pusat
Perangkat
kebijakan pemerintah pusat yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi
fasilitasi
koperasi dan UMKM sebenarnya sudah cukup lengkap dan memadai. Sebagai contoh,
pemerintah kini telah memiliki Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah sebagai landasan berpijak bagi proses fasilitasi yang berkesinambungan.
Ketentuan dalam undang-undang ini merupakan kemajuan dari produk perundangan
sebelumnya, yaitu Undang-undang No.9 tahun 1995 yang terbatas hanya mengatur
tentang usaha kecil. Namun yang masih diperlukan selanjutnya adalah agar
semangat UU No.20/2008 untuk memfasilitasi pengembangan koperasi dan UMKM dapat
diteruskan dengan kebijakan-kebijakan yang konkret. Perlu diperhatikan ialah
bahwa fasilitasi atau pemberdayaan koperasi dan UMKM hendaknya dilakukan dengan
prinsip-prinsip dasar yang sama, seperti yang tercantum dalam pasal (4)
undang-undang ini, yaitu:
•
Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro,
Kecil
dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri.
•
Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
•
Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan
kompetensi Usaha Mikro, Kecil, Menengah.
•
Peningkatan daya-saing usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
•
Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Dengan
demikian, seperti telah diuraikan sebelumnya, paradigma fasilitasi dan pemberdayaan
mestinya tidak justru menimbulkan ketergantungan pelaku usaha koperasi dan UMKM
kepada fasilitasi dari pemerintah. Sebaliknya, fasilitasi harus bisa menciptakan
para manajer koperasi dan pelaku UMKM yang tangguh, ulet dan peka terhadap
peluang-peluang baru dalam bisnis sehingga mampu bersaing dengan para pengusaha
besar. Tema pada puncak peringatan Hari Koperasi ke-61 pada tahun 2008 adalah
”revolusi perkoperasian untuk mewujudkan kemandirian ekonomi rakyat”. Makna ”revolusi”
dalam hal ini mestinya diterjemahkan oleh jajaran pemerintah pusat untuk berubah
dari paradigma pemberdayaan yang lama. Namun perubahan paradigma fasilitasi dan
pemberdayaan itu memang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dengan
menggunakan sinyal yang jelas kepada para perumus kebijakan yang terkait dengan
koperasi dan UMKM. Apabila sinyal arah kebijakan dan rumusan strateginya kurang
meyakinkan atau bahkan menimbulkan penafsiran yang keliru, akan sulit untuk
mengharapkan komitmen fasilitasi dan pemberdayaan seperti yang diharapkan.
Sebagai contoh, sekalipun pemerintah Orde Baru dikenal sebagai pemerintahan
yang otoriter, komitmen terhadap koperasi masih cukup jelas dengan memberikan
portofolio penuh kepada Departemen Koperasi. Namun pada masa presiden Abdurrahman
Wahid, kewenangan Departemen Koperasi justru dipangkas dan statusnya diubah
menjadi Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Meskipun kebijakan
tersebut
diimbangi dengan pembentukan BPSKUKM (Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi,
Usaha Kecil dan Menengah), di dalam praktik lembaga baru itu tidak berjalan
secara efektif. Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, BPSKUKM
dibubarkan, tetapi status Kementerian Koperasi dan UKM untuk melaksanakan
program teknis dikembalikan lagi. Belakangan, pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden No.9 tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata-kerja Kementerian Negara, yang
isinya antara lain menghapus kewenangan Kementerian Koperasi/UKM untuk melakukan
kegiatan teknis. Dengan demikian, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah hanya dapat menyusun kebijakan tanpa memiliki kewenangan untuk
mewujudkan kebijakan itu dalam bentuk program. Masalahnya ialah bahwa kini tidak
ada departemen atau instansi apapun yang diberi tugas teknis untuk melaksanakan
fasilitasi dan pemberdayaan koperasi dan UMKM. Untuk rencana jangka menengah tahun
2010-2014, agenda kebijakan bagi fasilitasi dan pemberdayaan koperasi dan UMKM
hendaknya menyentuh persoalan yang paling mendasar, yaitu komitmen dari pemerintah
pusat yang bersumber dari kebijakan presiden sendiri.
b. Pemerintah Daerah
Keberhasilan
fasilitasi dan pemberdayaan terhadap usaha koperasi dan UMKM sangat tergantung
kepada responsivitas Pemerintah Daerah dalam memberikan alokasi anggaran dan
mengaktifkan kegiatan yang terkait dengan ekonomi kerakyatan ini. Namun upaya mewujudkan
harapan tersebut seringkali masih menemui kendala karena konflik kepentingan
diantara para stake-holders di daerah dan karena penentuan prioritas pembangunan
di daerah yang keliru. Sebagai misal, dana yang berasal dari APBD sekarang ini
lebih banyak tersedot untuk pengeluaran rutin pegawai daripada untuk belanja
modal yang bermanfaat bagi pelaku ekonomi kerakyatan. Angka rerata nasional menunjukkan
bahwa 69% belanja APBD tersedot untuk belanja aparatur yang meliputi gaji,
honorarium, belanja perjalanan dinas, dan sebagainya. Di masa mendatang para pejabat
daerah perlu meningkatkan sisi belanja modal yang langsung bermanfaat bagi rakyat,
termasuk diantaranya untuk pemberdayaan koperasi dan UMKM. Rendahnya
produktivitas koperasi dan UMKM selama ini lebih disebabkan oleh lemahnya
sumberdaya manusia di bidang manajemen, organisasi yang kurang profesional,
penguasaan teknologi dan pemasaran yang lemah, serta rendahnya kualitas kewirausahaan
dari para manajer koperasi dan pelaku usaha UMKM. Masalah pengembangan juga
bertambah rumit karena kebanyakan koperasi dan UMKM kurang difasilitasi dengan
akses terhadap permodalan, informasi, pasar, teknologi dan faktorfaktor penunjang
bisnis lainnya.
Oleh
sebab itu, komitmen terhadap fasilitasi dan pemberdayaan juga harus diwujudkan dengan
perangkat kelembagaan yang khusus dimaksudkan bagi koperasi dan UMKM. Saat ini
jajaran Pemda sering menganggap bahwapembinaan dan pemberdayaan koperasi dan
UMKM hanya akan menyedot dana dan tidak menghasilkan tambahan pendapatan seperti
halnya sektor-sektor industri besar yang membayar pajak dan retribusi relatif
lebih tinggi. Pola pemikiran ini harus diubah sehingga harus ada satuan teknis
yang khusus menangani koperasi dan UMKM serta alokasi anggaran yang memadai
untuk program pemberdayaan.
Berdasarkan
ketentuan dalam PP No.38/2007 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, telah ditegaskan bahwa koperasi dan usaha
kecil-menengah merupakan salah satu dari 26 urusan wajib yang harus diselenggarakan
dengan baik oleh pemerintah daerah. Demikian juga, ketentuan dalam PP
No.41/2007 tentang struktur organisasi dan tata-kerja pemerintah daerah telah mengatur
bahwa urusan koperasi dan UMKM hendaknya dikelola oleh sebuah satuan direktif
yang berbentuk dinas. Tetapi banyak daerah yang belum menempatkan pemberdayaan
koperasi dan UMKM ke dalam Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) dalam bentuk dinas
yang kuat. Sebagian masih dijadikan satu dalam urusan Bagian, Badan atau UPT
tertentu. Kebanyakan daerah menempatkan urusan ini dalam Dinas Perindagkop
(Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi) dengan prioritas urusan koperasi dan
UMKM yang lebih rendah daripada urusan-urusan lainnya.
Dalam
rencana jangka menengah, pihak pemerintah daerah hendaknya bisa memperbarui komitmen
terhadap koperasi dan UMKM dengan menempatkannya ke dalam dinas khusus yang
disertai dengan prioritas pendanaan dari APBD yang mencukupi. Ini harus dilakukan
mengingat betapa pentingnya posisi koperasi dan UMKM dalam peningkatan kesejahteraan
rakyat di daerah dan masih banyaknya hambatan struktural maupun hambatan
manajerial bagi kelompok pelaku usaha ini. Betapapun, komitmen harus diwujudkan
dalam bentuk affirmative action atau tindakan keberpihakan. Yang dimaksud dalam
hal ini ialah bahwa pemerintah memang harus melindungi koperasi dan UMKM yang
kebanyakan merupakan kelompok usaha yang masih lemah dan mengalami banyak hambatan
untuk bersaing dengan usaha-usaha berskala besar. Tentu saja Dinas Koperasi dan
UMKM di daerah juga harus paham kapan saatnya melakukan exit strategy apabila koperasi
dan UMKM sudah dapat berkembang secara mandiri dan tidak tergantung kepada
fasilitasi pihak Pemda.
Nama/npm:
Dyah Ayu Lestari
Kelas/Tahun:
2EB09/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar