Selasa, 27 November 2012

Review3 : Fasilitas Pemerintah


PERUBAHAN PARADIGMA PERAN PEMERINTAH
DALAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM *
Oleh: Wahyudi Kumorotomo
2. FASILITASI PEMERINTAH

Komitmen dan perhatian yang besar dari pemerintah sangat diperlukan agar pelaku usaha yang tergabung dalam koperasi dan UMKM dapat meningkatkan terus daya-saingnya berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang berskala besar. Komitmen ini dapat ditunjukkan dengan rencana yang berkesinambungan dari rencana program jangka menengah yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada RPJM Nasional tahun 2004-2009 prinsip-prinsip pengembangan koperasi dan UMKM telah dikembangkan dengan arah sebagai berikut:





a) Perluasan basis usaha dan penumbuhan wirausaha baru berkeunggulan untuk mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Strategi pokok yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan ini adalah: 1) meningkatkan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi teknologi, 2) pendekatan klaster di sektor agribisnis dan agroindustri yang disertai kemudaan dalam pengelolaan usaha, 3) mengembangkan peran koperasi dan UMKM dalam proses industrialisasi, dan 4) mengintegrasikan pengembangan usaha di tingkat regional.

b) Penguatan kelembagaan koperasi dan UMKM, yang dilaksanakan dengan strategi: 1) perluasan akses kepada sumber permodalan, terutama perbankan, 2) memperbaiki lingkungan usaha dan prosedur perijinan, dan 3) memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung non-finansial.

c) Pengembangan koperasi dan UMKM untuk berperan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya-saing. Khusus bagi usaha skala mikro, pengembangan diarahkan untuk peningkatan pendapatan kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah.

d) Pengembangan koperasi dan UMKM sebagai penyedia barang dan jasa di pasar
domestik. Strategi ini sangat penting agar masyarakat banyak tidak tergantung kepada produk-produk impor yang melemahkan ketahanan ekonomi rakyat secara keseluruhan.
 Strategi pengembangan di atas dapat dilanjutkan dengan melihat kelemahan-kelemahan yang dihadapi dalam pelaksanaan masing-masing strategi. Komitmen diperlukan melalui kerangka kebijakan nasional yang terwujud dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang bersifat tahunan. Namun perlu juga diingat bahwa pelaksanaan strategi jangka menengah di masa mendatang tidak hanya didukung oleh jajaran pemerintah pusat, tetapi juga oleh para pejabat pemerintah daerah. Ini penting disadari mengingat bahwa mulai tahun anggaran 2008, besaran dana yang telah dikelola oleh pemerintah daerah sudah mencapai 65% dari volume APBN.

a. Pemerintah Pusat
Perangkat kebijakan pemerintah pusat yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi
fasilitasi koperasi dan UMKM sebenarnya sudah cukup lengkap dan memadai. Sebagai contoh, pemerintah kini telah memiliki Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai landasan berpijak bagi proses fasilitasi yang berkesinambungan. Ketentuan dalam undang-undang ini merupakan kemajuan dari produk perundangan sebelumnya, yaitu Undang-undang No.9 tahun 1995 yang terbatas hanya mengatur tentang usaha kecil. Namun yang masih diperlukan selanjutnya adalah agar semangat UU No.20/2008 untuk memfasilitasi pengembangan koperasi dan UMKM dapat diteruskan dengan kebijakan-kebijakan yang konkret. Perlu diperhatikan ialah bahwa fasilitasi atau pemberdayaan koperasi dan UMKM hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip dasar yang sama, seperti yang tercantum dalam pasal (4) undang-undang ini, yaitu:
• Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri.
• Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
• Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, Menengah.
• Peningkatan daya-saing usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
• Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Dengan demikian, seperti telah diuraikan sebelumnya, paradigma fasilitasi dan pemberdayaan mestinya tidak justru menimbulkan ketergantungan pelaku usaha koperasi dan UMKM kepada fasilitasi dari pemerintah. Sebaliknya, fasilitasi harus bisa menciptakan para manajer koperasi dan pelaku UMKM yang tangguh, ulet dan peka terhadap peluang-peluang baru dalam bisnis sehingga mampu bersaing dengan para pengusaha besar. Tema pada puncak peringatan Hari Koperasi ke-61 pada tahun 2008 adalah ”revolusi perkoperasian untuk mewujudkan kemandirian ekonomi rakyat”. Makna ”revolusi” dalam hal ini mestinya diterjemahkan oleh jajaran pemerintah pusat untuk berubah dari paradigma pemberdayaan yang lama. Namun perubahan paradigma fasilitasi dan pemberdayaan itu memang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan sinyal yang jelas kepada para perumus kebijakan yang terkait dengan koperasi dan UMKM. Apabila sinyal arah kebijakan dan rumusan strateginya kurang meyakinkan atau bahkan menimbulkan penafsiran yang keliru, akan sulit untuk mengharapkan komitmen fasilitasi dan pemberdayaan seperti yang diharapkan. Sebagai contoh, sekalipun pemerintah Orde Baru dikenal sebagai pemerintahan yang otoriter, komitmen terhadap koperasi masih cukup jelas dengan memberikan portofolio penuh kepada Departemen Koperasi. Namun pada masa presiden Abdurrahman Wahid, kewenangan Departemen Koperasi justru dipangkas dan statusnya diubah menjadi Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Meskipun kebijakan
tersebut diimbangi dengan pembentukan BPSKUKM (Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah), di dalam praktik lembaga baru itu tidak berjalan secara efektif. Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, BPSKUKM dibubarkan, tetapi status Kementerian Koperasi dan UKM untuk melaksanakan program teknis dikembalikan lagi. Belakangan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden No.9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata-kerja Kementerian Negara, yang isinya antara lain menghapus kewenangan Kementerian Koperasi/UKM untuk melakukan kegiatan teknis. Dengan demikian, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah hanya dapat menyusun kebijakan tanpa memiliki kewenangan untuk mewujudkan kebijakan itu dalam bentuk program. Masalahnya ialah bahwa kini tidak ada departemen atau instansi apapun yang diberi tugas teknis untuk melaksanakan fasilitasi dan pemberdayaan koperasi dan UMKM. Untuk rencana jangka menengah tahun 2010-2014, agenda kebijakan bagi fasilitasi dan pemberdayaan koperasi dan UMKM hendaknya menyentuh persoalan yang paling mendasar, yaitu komitmen dari pemerintah pusat yang bersumber dari kebijakan presiden sendiri.

b. Pemerintah Daerah
Keberhasilan fasilitasi dan pemberdayaan terhadap usaha koperasi dan UMKM sangat tergantung kepada responsivitas Pemerintah Daerah dalam memberikan alokasi anggaran dan mengaktifkan kegiatan yang terkait dengan ekonomi kerakyatan ini. Namun upaya mewujudkan harapan tersebut seringkali masih menemui kendala karena konflik kepentingan diantara para stake-holders di daerah dan karena penentuan prioritas pembangunan di daerah yang keliru. Sebagai misal, dana yang berasal dari APBD sekarang ini lebih banyak tersedot untuk pengeluaran rutin pegawai daripada untuk belanja modal yang bermanfaat bagi pelaku ekonomi kerakyatan. Angka rerata nasional menunjukkan bahwa 69% belanja APBD tersedot untuk belanja aparatur yang meliputi gaji, honorarium, belanja perjalanan dinas, dan sebagainya. Di masa mendatang para pejabat daerah perlu meningkatkan sisi belanja modal yang langsung bermanfaat bagi rakyat, termasuk diantaranya untuk pemberdayaan koperasi dan UMKM. Rendahnya produktivitas koperasi dan UMKM selama ini lebih disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia di bidang manajemen, organisasi yang kurang profesional, penguasaan teknologi dan pemasaran yang lemah, serta rendahnya kualitas kewirausahaan dari para manajer koperasi dan pelaku usaha UMKM. Masalah pengembangan juga bertambah rumit karena kebanyakan koperasi dan UMKM kurang difasilitasi dengan akses terhadap permodalan, informasi, pasar, teknologi dan faktorfaktor penunjang bisnis lainnya.
Oleh sebab itu, komitmen terhadap fasilitasi dan pemberdayaan juga harus diwujudkan dengan perangkat kelembagaan yang khusus dimaksudkan bagi koperasi dan UMKM. Saat ini jajaran Pemda sering menganggap bahwapembinaan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM hanya akan menyedot dana dan tidak menghasilkan tambahan pendapatan seperti halnya sektor-sektor industri besar yang membayar pajak dan retribusi relatif lebih tinggi. Pola pemikiran ini harus diubah sehingga harus ada satuan teknis yang khusus menangani koperasi dan UMKM serta alokasi anggaran yang memadai untuk program pemberdayaan.
Berdasarkan ketentuan dalam PP No.38/2007 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, telah ditegaskan bahwa koperasi dan usaha kecil-menengah merupakan salah satu dari 26 urusan wajib yang harus diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah daerah. Demikian juga, ketentuan dalam PP No.41/2007 tentang struktur organisasi dan tata-kerja pemerintah daerah telah mengatur bahwa urusan koperasi dan UMKM hendaknya dikelola oleh sebuah satuan direktif yang berbentuk dinas. Tetapi banyak daerah yang belum menempatkan pemberdayaan koperasi dan UMKM ke dalam Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) dalam bentuk dinas yang kuat. Sebagian masih dijadikan satu dalam urusan Bagian, Badan atau UPT tertentu. Kebanyakan daerah menempatkan urusan ini dalam Dinas Perindagkop (Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi) dengan prioritas urusan koperasi dan UMKM yang lebih rendah daripada urusan-urusan lainnya.
Dalam rencana jangka menengah, pihak pemerintah daerah hendaknya bisa memperbarui komitmen terhadap koperasi dan UMKM dengan menempatkannya ke dalam dinas khusus yang disertai dengan prioritas pendanaan dari APBD yang mencukupi. Ini harus dilakukan mengingat betapa pentingnya posisi koperasi dan UMKM dalam peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah dan masih banyaknya hambatan struktural maupun hambatan manajerial bagi kelompok pelaku usaha ini. Betapapun, komitmen harus diwujudkan dalam bentuk affirmative action atau tindakan keberpihakan. Yang dimaksud dalam hal ini ialah bahwa pemerintah memang harus melindungi koperasi dan UMKM yang kebanyakan merupakan kelompok usaha yang masih lemah dan mengalami banyak hambatan untuk bersaing dengan usaha-usaha berskala besar. Tentu saja Dinas Koperasi dan UMKM di daerah juga harus paham kapan saatnya melakukan exit strategy apabila koperasi dan UMKM sudah dapat berkembang secara mandiri dan tidak tergantung kepada fasilitasi pihak Pemda.

Nama/npm: Dyah Ayu Lestari
Kelas/Tahun: 2EB09/2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar