Koperasi Karyawan.
antara pola sub-kontrak dan
aktualisasi ekonomi pekerja.
Sebuah studi bandin.
Oleh
Irsyad Muchtar*
Data
Pokok
Kajian utama
tulisan mengacu pada studi lapangan yang penulis lakukan di Koperasi Karyawan
Sejahtera (Koptera) Sewon Bantul, DI Yogyakarta. Kopkar perusahaan tekstil, PT
Samitex ini mempunyai anggota sebanyak 1.600 orang, tanpa dukungan keuangan perusahaan,
namun mampu melayani anggotanya selama 23 tahun. Kopkar yang tumbuh dengan
aktivitas serba sederhana ini meraih penghargaan Koperasi Berprestasi pada Hari
Koperasi 12 Juli 2006. Sebagai pembanding, sejumlah penelitian dan wawancara
dengan kopkar lainnya
menunjukkan
bahwa perkembangan Koptera sangat tidak lazim, kalau tak boleh dibilang luar
biasa. Sebab, kopkar yang maju dan berkembang justru lantaran mendapat dukungan
perusahaan. Bahkan dukungan aktif perusahaan pada gilirannya mampu mengangkat
kinerja kopkar dengan pertumbuhan asset dan Sisa Hasil Usaha (SHU) mengagumkan.
Sementara kopkar yang juga pernah meraih Teladan Nasional, yaitu Kopkar Mercury
PT PLN (Persero),Padang, Sumatera Barat, malah berhasil meraih kinerja tinggi
karena memanfaatkan kedekatan para pengurusnya dengan pihak manajemen di
perusahaan induk. Kopkar Mercury berhasil menjalin kemitraan usaha pola
sub-kontrak dengan perusahaan induk (PLN Sektor Padang) dalam pengerjaan unit
pemeliharaan jaringan/transmisi dan pekerjaan umum lainnya seperti jasa
cleaning service, supplier, hingga penarikan dana langganan (rekening)
listrik.5
Pola
Sub-kontrak
Sulit dibantah bahwa posisi perusahaan sangat
menentukan bagi eksistensi kopkar, bahkan terdapat pola ketergantungan cukup
tinggi yang menempatkan perusahaan pada posisi superior dan kopkar di sisi lain
sebagai inferior. Umumnya bisnis kopkar terdiri dari sejumlah produksi atau
barang yang mengacu pada kebutuhan primer anggota. Dan bagian terbesar masalah karyawan
di tingkat menengah ke bawah adalah kebutuhan biaya rumah tangga
yang tidak mencukupi akibat gaji rendah.
Maka tak heran jika bisnis kopkar yang laris manis disukai anggota adalah Usaha
Simpan Pinjam (USP) dan Warung Serba Ada
(Waserda). Fungsi kopkar sebagai penyedia kebutuhan primer anggota boleh
dibilang peran yang minimalis namun strategis. Tetapi tidak sedikit pula kopkar
yang mampu menjalankan fungsinya sebagai penyedia kebutuhan perusahaan. Kesempatan
seperti ini merupakan goodwill perusahaan dalam menempatkan kopkar sebagai
sub-kontrak. Pola seperti ini memberikan kepercayaan kepada kopkar untuk
bertindak sebagai rekanan pengadaan berbagai kebutuhan perusahaan. Karena posisi
kopkar yang pengurusnya adalah juga karyawan perusahaan, maka fungsi sub
kontrak lebih menguntungkan. Selain mampu menekan tingkat efisiensi perusahaan,
karyawan pun mendapat nilai tambah ekonomi yang lebih baik melalui perolehan
SHU kopkar. Apakah kemudian tidak terjadi unsur kolusi? Artinya, bisa saja
.oknum. perusahaan .bermain mata. dengan manajemen kopkar me-mark-up harga. Pandangan
pesimis itu berangkat pada pemahaman bahwa kopkar hanyalah koperasi konsumen
yang sekadar memenuhi kebutuhan anggota di lingkungan terbatas. Pernyataan .lingkungan
terbatas. itu tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi makna fungsionalisasi.
Itu sebabnya, menurut kalangan yang pesimis,
kopkar boleh saja meningkatkan peran sebagaisub kontrak bagi perusahaan guna
memberi nilai tambah ekonomi pada anggota. Hanya soalnya, apakah peran tersebut
bisa dilaksanakan secara konsisten dengan tidak mencampuraduk fungsi sebagai anggota
kopkar dan pegawai perusahaan. Pengamatan di sejumlah perusahaan yang menjadikan
kopkar sebagai subkontrak, sangat jarang terjadi gesekan kepentingan antara
perusahaan dengan karyawan. Konflik antara karyawan dan perusahaan biasanya
terjadi akibat lemahnya komunikasi kedua belah pihak. Munculnya Serikat Pekerja
(Trade Labour) sebagai upaya menjembatani kepentingan karyawan terkadang gagal mengatasi
konflik internal tersebut. Serikat pekerja lebih bernuansa sosialpolitis,
padahal amuk karyawan lebih sering bermuara pada ketimpangan pendapatan (gaji
atau upah).
Sejalan dengan keberadaan serikat pekerja,
kopkar berorientasi pada pemenuhan ekonomi anggota yang notabene adalah
karyawan. Peran dimainkan kopkar tampaknya lebih ampuh dalam meredam konflik
antara karyawan dan perusahaan. Melalui kopkar berbagai kebutuhan primer
karyawan biasanya dapat terpenuhi. Salah satu pengamatan di Kopkar PT Sumarecon
Agung, menunjukkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan karyawan. Perusahaan
yang bergerak di bidang pembangunan perumahan ini ikut aktif membangunkopkar
dengan memberikan modal dan hibah saham sebesar dua persen dari keuntungan
perusahaan. Pola sub-kontrak yang berkaitan langsung dengan bisnis perusahaan,
misalnya terlihat pada Kopkar PT Sinar Sosro yang mengambil alih pekerjaan
perusahaan induk berupa pembuangan limbah teh dan pecahan botol ke tempat
pembuangan akhir. Sedangkan Koperasi Pegawai PT Danareksa (Kopedana) oleh
perusahaan induk diikutsertakan dalam kegiatan perdagangan efek (saham). Pengambilan
sampel penilitian pada Kopedana . koperasi pegawai negeri (kopeg) . untuk
menunjukkan per-bandingan bahwa, koperasi di lingkungan pemerintahan juga mampu
berkembang pesat seperti halnya kopkar di perusahaan swasta. Memang
perkembangan pesat kopeg tersebut masih terbatas di lingkungan kantor
pemerintahan yang punya visi bisnis yang kompetitif, seperti di Badan Usaha
Milik Negara maupun Perusahaan Umum (Perum).
Dari sejumlah kopkar yang mendapat perlakuan
sebagai mitra perusahaan, terlihat adanyapertumbuhan kinerja usaha yang cukup
signifikan6 . Setidaknya deretan angka-angka sukses kopkar mitra perusahaan dan
juga kopeg pada tabel I di bawah ini menunjukkan, kopkar bisa diandalkan
sebagai institusi bisnis yang mampu mendulang untung.
Karyawan
Sejahtera
Pertama kali berkunjung ke Koperasi Karyawan
Sejahtera (Koptera) Bantul, Yogyakarta, tidak sempat terlintas bahwa koperasi
yang hanya menempati sebuah pojok kumuh dari kantor induk perusahaan adalah
salah satu peraih penghargaan Koperasi Berprestasi Tahun 2006. Skala usaha
Koptera pun hanya sekadar memenuhi kebutuhan primer anggota, yakni simpan
pinjam dan waserda.
Sehingga bayangan koperasi berpretasi dengan
jalinan kemitraan usaha dengan perusahaan sama sekali tidak tergambar pada
sosok Koptera. Lantas apa hebatnya Koptera yang sudah berdiri sejak tahun 1983?
Bukankah ada ratusan koperasi lainnya di tanah air yang malah sudah berdiri
sejak era kemerdekaan, tapi belum memperoleh penghargaan berprestasi? Jika setuju
pada pandangan pesimisme tentang peran ideal kopkar, maka Koptera sudah memenuhi
kriteria sebagai koperasi konsumen yang melayani anggota di lingkungan
terbatas. Dalam rentang 23 tahun, Koptera mampu bertahan dan konsisten melayani
anggotanya yang kini tercatat sebanyak
1.556 orang (per 2005). Pengguna jasa koperasi
ini bahkan bisa melebihi jumlah anggota, karena sebagian karyawan PT Samitex yang
belum terdaftar sebagai anggota boleh memanfaatkan jasa unit simpan pinjam. Per
tahun buku 2005 tercatat 2.213 orang atau 142,13% pengguna jasa simpan pinjam,
dan 330 orang atau 21,19% jasa waserda. Dilihat dari fungsi pelayanan dan rendahnya
komitmen perusahaan, Koptera agaknya bisa kita sebut genuine (sejati) yang
tahan banting. Setidaknya ada tiga alasan untuk mengkategorikan
genuine tersebut. Pertama, permodalan koperasi
ini sepenuhnya mengandalkan simpanan anggota yang umumnya karyawan
berpenghasilan rendah. Kedua, mampu melayani seluruh kebutuhan anggota,
terutama simpan pinjam, kendati dengan modal dihimpun sangatterbatas.Ketiga,
mampu memungsikan diri sebagai sentra ekonomi bagi anggotanya.
Sejak berdiri pada 1983, Koptera hanya memperoleh
fasilitas izin pemanfaatan lokasi dari perusahaan induk (PT Samitex).
Selebihnya adalah daya juang para pengurus dalam menghidupkan roda usaha.
Beruntung, partisipasi anggota relatif tinggi
memanfaatkan keberadaan koperasi sehingga usaha simpan pinjam dan waserda mampu
bertahan.
Namun, modal anggota saja tidak cukup bagi
pengembangan usaha Koptera. Koperasi ini sering kedodoran melayani kebutuhan
anggota yang terus meningkat. Akibatnya, nilai pinjaman anggota terpaksa harus
dipangkas agar bisa memenuhi kebutuhan anggota lainnya. Upaya mengatasi kendala
permodalan koperasi pernah dilakukan melalui pengajuan pinjaman ke perbankan ataupun
pemanfaatan dana bergulir dari instansi pemerintahan. Hasilnya nihil,
karena posisi kopkar tidak berada pada kawasan
koperasi (bisnis) yang layak
mendapat bantuan.
Program kebaijakan pemerintah dalam pemberdayaan
koperasi memang sulit menyentuh kopkar. Kredit pangan atau KUT di masa lalu,
misalnya, adalah untuk KUD. Sedangkan perbankan boleh dibilang .alergi.
bermitra dengan koperasi. Karena status hukum perkoperasian, terutama mengenai
hak milik, dinilai tidak sesuai dengan kaidah umum yang berlaku.
Mengapa kopkar tidak masuk hitungan layak
mendapat bantuan modal pemerintah? Pasalnya kopkar terlanjur dianggap mampu
eksist dan bagian dari perusahaan induk. Bahwa sejumlah kopkar berhasil
menjalankan fungsi sub-kontrak dengan perusahaan induk, adalah keniscayaan yang
patut dibanggakan. Tetapi jumlah kopkar bernasib baik itu, tidak menghampiri Koptera,
atau tidak sebanding dengan total kopkar yang ada di tanah air. Koptera, masih
tergolong bernasib baik karena mendapat restu perusahaan induk walaupun tidak
mendapat bantuan permodalan. Kebijakan itu sudah cukup menguntungkan bagi
karyawan kelas bawahan yang jumlahnya mayoritas di PT Samitex.
Galang
Potensi
Ketika berbagai upaya mendapatkan dana pihak
ketiga untuk modal Koptera tak membuahkan hasil, para pengurus mulai bersikap realistis.
Ada tekad yang kuat bahwa Koptera tidak boleh mati hanya lantaran tak mendapat
dukungan modal. Dari akumulasi penghimpunan modal simpanan pokok dan simpanan
wajib, pengurus Koptera memutar otak untuk mengembangkan usaha. Prioritas utama
tetap pada unit simpan pinjam mengingat tuntutan pokok anggota memang hanya pada
pinjaman dana darurat alias kebutuhan dana taktis saat tiba tanggung bulan.
Mengacu data survey lapangan terhadap sejumlah
anggota Koptera, kebutuhan utama mereka umumnya pinjaman dana ke koperasi.
Kondisi itu beralasan karena dari hasil survey secara acak (random) terhadap 20
responden, sebanyak 18 orang berpenghasilan di bawah Rp 500 ribu per bulan.
Sisanya, dua orang di bawah Rp. 1 juta per bulan. Dengan penghasilan anggota
yang sangat minim itu, tidak heran jika koperasi kemudian menjadi tumpuan
penyelamat. Seperti terlihat pada tabel II di bawah ini. Ada responden menjawab
satu pertanyaan lebih dari satu pilihan.
Kendati seluruh responden mengaku tertolong
oleh keberadaan koperasi, tetapi keterlibatan mereka secara organisatoris sangat
minim. Hanya empat orang yang bisa mengikuti setiap kali digelar Rapat Anggota
Tahunan (RAT). Sedangkan 16 orang mengaku tidak bisa hadir dengan alasan
pekerjaan. Mereka diwakili oleh ketua kelompok masing-masing.
Rendahnya partisipasi anggota cukup beralasan,
sebab umumnya mereka adalah karyawan di level bawah, yang lebih mengutamakan
pekerjaan ketimbang organisasi. Belum lagi dominasi perusahaan yang tidak
terlalu peduli dengan kelangsungan koperasi. Berangkat dengan segala
keterbatasan tersebut, bisa dimaklumi jika Ketua Koptera, Darsono, berharap
penghargaan Koperasi Berprestasi 206 yang mereka
terima, dapat dikompensasi dengan kemudahan
mendapat kredit murah. Keberadaan Koptera di PT Samitex tidak sekadar badan
usaha, ia tak ubahnya seperti sarana untuk saling tolong menolong di antara
anggota yang sepanjang tahun dililit kesulitan dana. Beban itu terasa makin
menghimpit, ketika sebagian besar anggota Koptera terkena musibah gempa bumi
yang mengguncang Bantul pada Mei 2006. Akibat bencana gempa bumi tersebut, pinjaman
anggota yang rata-rata Rp 120 juta per bulan, membengkak hingga Rp 700 juta.
Jika permohonan itu disetujui sama artinya menguras seluruh kekayaan Koptera.
Berkutat di rentang waktu yang panjang membangun
koperasi, memang sebuah
perjuangan yang tidak ringan. Terlebih
bagi Darsono yang didaulat harus selalu siaga mengatasi kebutuhan anggotanya. Sementara,
bantuan perkuatan yang sering ia simak di media massa tak kunjung mengucur.
Kendati tidak bisa diukur dengan besaran
angka yang signifikan, tetapi kinerja Koptera sepanjang tahun menunjukan peningkatan
cukup lumayan.
Paparan tabel tersebut menunjukkan bisnis
inti Koptera bertumpu pada unit Simpan Pinjam, yang pada tahun 2002 tercatat
sebesar Rp 681,2 juta meningkat hingga Rp 1,149 miliar pada 2005. Tren yang
sama terlihat pada peningkatan jumlah simpanan anggota, modal dan kekayaan
Koptera.
Quo
Vadis?
Kopkar yang sukses lantaran kepedulian perusahaan,
sudah biasa. Tetapi jika kopkar sukses tanpa partisipasi perusahaan, seperti
halnya Koptera, mungkin luar biasa. Nilainilai instrumental perkoperasian,
mereka penuhi dengan konsisten. Seperti disinggung Sven Ake Booek, koperasi tergolong
sehat jika salah satu parameternya adalah kegiatan usaha yang terkonsentrasi
pada pemenuhan kebutuhan anggota.1
Masalahnya, jika kopkar sudah mencapai ambang
sukses lantas mau apa? Artinya dapatkah kopkar melanjutkan misi ekonominya
secara lebih luas, misalnya dengan membeli sebagian saham perusahaan.
Kepemilikan saham perusahaan oleh kopkar
tidak sekadar menaikkan posisi tawar (bargaining position) karyawan, juga meningkatkan
citra perusahaan di tengah masyarakat.
Seirama dengan sasaran yang menguntungkan
kedua pihak (win-win) itu, pengamat perkoperasian Thoby Mutis menilai pemilikan
saham oleh kopkar mengandung nuansa memperbesar pemerataan pendapatan dalam perusahaan,
seraya menghindarkan tabrakan kepentingan antara buruh dan pengusaha secara
tajam.2 Yang acapkali tidak terhindarkan adalah, keuntungan di satu pihak itu
berakibat kerugian pada pihak lain. Thoby mengangkat pemikiran Vilfredo Pareto
(1848-1923) yang terkenal dengan Pareto Optimum. Dalil ini menjelaskan, bahwa
setiap upaya yang menguntungkan seseorang atau suatu perusahaan akan selalu berakibat
ruginya orang lain atau perusahaan lain.
Dalam konteks pemilikan saham perusahaan
oleh karyawan (melalui kopkar) yang dibutuhkan bukan sekadar pemberlakuan UU,
juga harus diiringi komitmen pelaksanaan yang kuat. Pemerintah Orde Baru,
pernah memberlakukan ketentuan mengenai kepemilikan saham oleh kopkar hingga 25%,
tetapi aturan itu hanya sebatas lip service. Selain koperasi tidak punya modal
yang cukup, implementasinya pun tidak serius.
Ketika program kemitraan dengan pengusaha
besar pada awal 1990 an itu marak, kita masi ingat, sejumlah koperasi diundang
ke Jakarta untuk menerima alih saham. Tetapi setelah acara seremonial bubar,
koperasi pun kembali ke daerah masing-masing. Alihalih mendapat deviden dari
kepemilikan saham, bahkan banyak di antara koperasi tersebut yang tidak pernah
lagi dihubungi oleh perusahaan mitra.
Dalam UU yang menyangkut
ketenagakerjaan, masalah kepemilikan saham oleh karyawan melalui kopkar
merupakan komitmen kuat bagi kesejahteraan ekonomi rakyat. Hendaknya jangan dilupakan
macetrnya pemberlakuan UU Ketenagakerjaan di DPR-RI, yang menimbulkan aksi demo
terluas, karena adanya kepentingan yang saling tarik menarik dari pasal yang mewajibkan
adanya kopkar di dalam perusahaan. UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers misalnya,
dengan tegas menyebutkan kepemilikan saham atau pembagian laba bersih kepada
karyawan.
Bagaimana penerapannya? Tergantung pada
komitmen pemilik perusahaan. Karena di sejumlah perusahaan pers, prosentase
kepemilikan tersebut berbeda-beda. Pada Harian Bisnis Indonesia, tingkat kepemilikan
saham oleh karyawan melalui kopkar mencapai 35%, sementara di Harian Kompas
baru mencapai 20%. Namun tidak demikian halnya pada Harian Media Indonesia, di mana
kepemilkan saham oleh kopkar masih berupa komitmen di atas kertas.
Nama/Npm: Dyah Ayu
Lestari/22211290
Kelas/Tahun: 2EB09/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar