Selasa, 27 November 2012

Review4: Affirmative Action


PERUBAHAN PARADIGMA PERAN PEMERINTAH
DALAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM *
Oleh: Wahyudi Kumorotomo


3. AFFIRMATIVE ACTION: KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG BERPIHAK KEPADA

KOPERASI DAN UMKM
Asumsi dasar yang melandasi perubahan paradigma peran pemerintah dalam
pemberdayaan ialah bahwa kebijakan pemerintah harus berpihak. Inilah makna yang sesungguhnya dari affirmative action bagi koperasi dan UMKM. Dalam hal koperasi dan UMKM yang merupakan usaha ekonomi kerakyatan, pemerintah tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar atau mengutamakan pendekatan formal sebagai landasan perumusan kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah tidak mungkin hanya sekadar mengimbau sektor perbankan formal untuk membantu koperasi dan UMKM dalam bentuk kredit lunak, atau fasilitas pembiayaan lainnya. Ini karena sektor perbankan komersial sudah pasti akan menggunakan ukuran-ukuran formal dalam penilaian usulan kredit, rencana bisnis, pengembangan produk, dan sebagainya, yang sudah pasti kurang dimiliki oleh koperasi dan UMKM.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk membantu koperasi dan UMKM secara sistematis dengan komitmen yang jelas kepada ekonomi rakyat, membangun berbagai bentuk pola kerjasama bisnis yang sinergis, serta berbagai kebijakan yang jelas dan terukur untuk menunjang setiap tahapan dalam daur bisnis, mulai dari penyusunan rencana bisnis, pengembangan produk, pembiayaan, promosi produk, hingga pengembangan kerjasama dalam bentuk riset terapan. Kebijakan yang dirumuskan tentunya tidak hanya mengandalkan rumusan-rumusan makro dengan memperbaiki iklim usaha, tetapi juga harus mengutamakan pendekatan mikro dengan menyelami dan mengatasi berbagai bentuk hambatan yang dialami oleh para pelaku bisnis dengan aset dan omzet yang kecil.
Tampak bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membina koperasi dan UMKM hendaknya meliputi banyak aspek yang terkait dengan lingkungan bisnis, aspek inovasi yang menyangkut pengembangan produk, serta aspek informasi serta pengetahuan yang akan menentukan kelestarian (sustainability) dari usaha maupun produk yang dihasilkannya.
Pemerintah harus bisa menciptakan insentif yang optimal sedemikian rupa sehingga pelaku bisnis dalam koperasi dan UMKM mampu memanfaatkan faktor-faktor yang menguntungkan bagi dirinya untuk bersaing dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif. Dalam hal ini perlu diingat bahwa kebijakan pemerintah tidak mungkin dapat optimal jika hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi makro. Sebaliknya, pendekatan ekonomi mikro yang mampu memperbaiki jejaring bisnis serta menunjang setiap titik siklus bisnis, inovasi produk, dan dukungan lembaga publik di tingkat pusat dan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan koperasi dan UMKM.

Inovasi produk merupakan hal yang sangat penting bagi koperasi dan UMKM supaya dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki modal kuat, jaringan yang luas dan volume produksi yang massal. Oleh sebab itu pemerintah hendaknya memberikan insentif dan dukungan yang luas bagi inovasi produk serta sistem pemasaran bagi pelaku usaha kecil yang sangat spesifik tersebut. Sebagai contoh, dukungan itu dapat berupa perlindungan paten atau standarisasi. Daro pengalaman di banyak negara, inovasi produk yang mendapat perlindungan paten akan memberi keuntungan luar biasa bagi usaha kecil dan merangsang inovasi-inovasi secara berkelanjutan. Produk sederhana berupa kertas memo berperekat dengan merek ”Post-it”, misalnya, merupakan inovasi tidak sengaja oleh industri kecil yang kemudian dikembangkan oleh perusahaan besar 3M. Inovasi pembuka kaleng minuman ringan (”ring-pull cans”) ditemukan oleh pertama kali oleh perusahaan kecil yang tetap memiliki paten-nya sekalipun sudah secara luas dipergunakan di Amerika Serikat dan seluruh dunia oleh Coca-cola dan Pepsi. Demikian pula, teh dari bunga Chrysantimum atau Rosela kini telah diperjuangkan paten-nya oleh sebuah koperasi di Malaysia (www.wipo.int/sme/). Yang dibutuhkan dari pemerintah untuk pengembangan produk-produk inovatif semacam itu adalah perlindungan hak paten yang jelas serta suasana kompetitif yang baik sehingga terdapat penghargaan yang pasti bagi upaya koperasi dan UMKM untuk melakukan berbagai terobosan ide bagi dunia bisnis.
Pemanfaatan jaringan antara koperasi dan UMKM dengan perguruan tinggi dan lembaga riset demikian penting bagi berkembangnya inovasi produk maupun pengkaderan wirausahawan sejak dini. Selain dalam berbagai bentuk program inkubator bisnis di perguruan tinggi, program seperti pengalokasian dana Iptekda (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Daerah) bekerjasama dengan LIPI perlu dikembangkan dan ditingkatkan efektivitasnya bagi penyiapan kader-kader usahawan yang potensial. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk melihat program mana yang paling tepat guna membantu unit-unit kegiatan koperasi dan UMKM.

Sudah barang tentu, dukungan kebijakan pemerintah yang berupa kemudahan akses terhadap modal juga masih tetap diperlukan. Dukungan tersebut hendaknya tetap terwujud dalam komitmen jangka menengah. Kecuali itu, dukungan pemerintah juga sangat menentukan dalam kasus-kasus khusus di daerah tertentu yang tidak mungkin diselesaikan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Misalnya, setelah gempa bumi di Jogja pada bulan Mei 2006, kondisi koperasi dan UMKM di daerah ini hampir semuanya ambruk. Tercatat ada 17.526 kredit UMKM yang bermasalah dengan nilai mencapai Rp 328 milyar. Pemda provinsi DIY dan kabupaten/kota telah merintis kerjasama dengan perbankan, BPR (Bank Perkreditan Rakyat), atau BUKP (Badan Usaha Kredit Pedesaan). Akan tetapi, besarnya persoalan karena kehilangan aset dan faktorfaktor produksi tetap tidak memungkinkan pemulihan kegiatan produktif koperasi dan UMKM dengan mengandalkan kebijakan lokal. Situasi kesehatan usaha diantara koperasi dan UMKM pasca-gempa itu baru dapat diatasi dengan adanya upaya sistematis dari pihak Bank Indonesia yang antara lain mengeluarkan Peraturan No.8/10/2006 tentang perlakuan khusus terhadap kredit bank pasca-gempa dan pasca bencana alam lainnya. Demikian juga, adanya penghapusan kredit macet (haircut) bagi UMKM di bank pemerintah juga sangat membantu pemulihan usaha diantara pelaku ekonomi kerakyatan yang sedang ambruk karena bencana alam tersebut. Perhatian pemerintah semacam ini hendaknya juga berlaku bagi pelaku industri kecil korban tsunami di Aceh dan Nias, gempa di Padang, banjir di Manggarai, lumpur panas di Sidoarjo, dan di daerah-daerah lain yang ditimpa bencana.
Affirmative action hendaknya dilaksanakan dengan komitmen yang kuat dan visi yang jelas. Sejak tahun 1970-an, sebenarnya pemerintah punya skema pengembangan yang cukup berhasil melalui program BIPIK (Bimbingan dan Pengembangan Industri Kecil) yang dikhususkan bagi pengusaha golongan ekonomi lemah. Tetapi belakangan program semacam ini surut atau digantikan oleh program yang terpecah-pecah di beberapa departemen sementara komitmen pemerintah sendiri terhadap koperasi dan UMKM tampak melemah. Kelemahan komitmen dan visi hanya akan mengakibatkan munculnya program-program yang mengakibatkan pemborosan dana sedangkan efektivitasnya kurang dapat dijamin. Sinyal lemahnya komitmen pemerintah juga sering ditangkap oleh perusahaan besar yang berniat melakukan kemitraan bisnis dengan koperasi dan UMKM secara negatif. Beberapa contoh kebijakan Kredit Usaha Kecil (KUK) menunjukkan hal ini. Melalui Peraturan Bank Indonesia No.3/2/PBI/2001 tentang pemberian KUK, pihak BI ternyata tidak lagi mewajibkan tetapi hanya menganjurkan kepada bank komersial untuk menyalurkan KUK sesuai dengan business plan mereka. Kebijakan ini pasti akan segera ditangkap oleh perbankan sebagai menurunnya komitmen pemerintah terhadap usaha kecil, bahwa pemerintah hanya memperhatikan usaha dari para pemodal besar.
Insentif pengembangan usaha yang berupa kredit lunak terbukti sangat efektif dalam membantu koperasi dan UMKM. Dari sekitar 48,8 juta unit usaha kecil dan 106,7 ribu unit usaha menengah dan 141,7 ribu koperasi pada tahun 2006, misalnya, peran bantuan pemerintah dalam bentuk kredit lunak ternyata sangat berarti. Jika insentif modal diberikan oleh pemerintah dengan cara yang tepat, perubahan produktivitas koperasi dan UMKM juga meningkat secara signifikan. Untuk usaha koperasi, pertumbuhan rasio modal sendiri dan modal luar juga meningkat dari 0,55 pada tahun 2000, meningkat menjadi 0,63 pada tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi 0,77 pada tahun 2006 (Kementerian Negara Koperasi dan UMKM, 2006). Memang harus diakui bahwa sampai sekarang masih banyak koperasi aktif yang belum dikelola secara profesional. Kemampuan koperasi dalam meningkatkan nilai volume usaha juga belum diiringi dengan penyediaan kemanfaatan yang maksimal bagi anggotanya. Namun dengan pembinaan profesionalisme dan pengembangan sistem pengawasan yang tepat, sebenarnya masih banyak yang dapat dibenahi dalam koperasi. Bagi UMKM, intervensi pemerintah sebagai perwujudan dari affirmative action juga sangat diperlukan mengingat bahwa ada banyak faktor yang sangat tergantung kepada tindakan pemerintah. Sebuah penelitian di daerah menunjukkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi pengembangan usaha itu sebenarnya dapat dikendalikan melalui
peran pemerintah. Lihat Bagan 2.

Selain modal dan fasilitasi bagi inovasi produk melakui penerapan teknologi tepat-guna, para pelaku usaha koperasi dan UMKM sebagian besar melihat pentingnya fasilitasi untuk promosi dan penciptaan jejaring bisnis dengan mitra yang potensial. Oleh sebab itu, sangat penting untuk melanjutkan berbagai program seperti Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK) yang dikembangkan oleh Bank Indonesia, pelatihan teknis kepada Business Development Service Provider, penciptaan trading house di daerah-daerah yang potensial bagi sentra industri kecil, dan semacamnya.

Tentu saja proses pembinaan koperasi dan UMKM harus disertai juga dengan pola exit strategy yang jelas agar setiap kelompok usaha terus meningkat kemandiriannya. Kriteria untuk fasilitasi untuk setiap jenis usaha, yakni: usaha mikro, kecil, dan menengah harus dipetakan
secara jelas sehingga kebijakan pengembangan yang ditujukan bagi setiap jenis usaha juga jelas. Dengan berlandaskan pada pasal (6) UU No.20/2008, tahapan-tahapan fasilitasi mestinya sudah sama bagi setiap departemen. Jika sebuah usaha mikro sudah berkembang menjadi usaha kecil karena asetnya sudah lebih dari Rp 50 juta dan hasil penjualannya lebih dari Rp 300 juta, mestinya skema fasilitasi dan bantuan teknis sudah masuk ke kategori kedua (usaha kecil) yang harus dibedakan dengan usaha mikro. Demikian pula, jika sebuah usaha menengah sudah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta dengan hasil penjualan lebih dari Rp 2,5 milyar, tentunya setiap departemen sudah harus mengkategorikannya sebagai perusahaan besar yang tidak perlu difasilitasi lagi dengan program-program yang berlaku bagi UMKM. Dengan cara ini, pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada koperasi dan UMKM diharapkan akan terwujud dengan lebih efektif dan efisien.

Nama/NPM: Dyah Ayu Lestari
Kelas Tahun:2EB09/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar