Selasa, 27 November 2012

Review4: Tahanp-Tahap Perkembangan Koperasi Modern Negara-Negara Berkembang


PERINTISAN DAN PENGEMBANGAN
ORGANISASI-ORGANISASI KOPERASI ”MODERN”
(Di Cuplik dari Buku Organisasi Koperasi mengenai Organisasi Koperasi dan Kebijakan
Pengembangannya di Negara-Negara Berkembang)

Oleh : Prof. DR. Alfred Hanel

Tahap-Tahap Perkembangan Koperasi Modern Di Negara-Negara Berkembang
(1) Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama, para imigran dari Eropa mendirikan koperasi-koperasi pertanian, seperti di Argentina, Brasilia Bagian Selatan; Transvaal dan Rhodesia. Bagian Selatan; di India, Pemerintah Kolonial Inggris mendorong pembentukan koperasi-koperasi kredit atas dasar ketentuan undang-undang yang berasal dari Undangundang Koperasi Inggris dan sesuai dengan suatu strategi, yang dipadukan dengan unsurunsur konsepsi awal Koperasi RAIFFEISEN yang dikembangkan di Jerman (lihat Pola Pengembangan Koperasi Inggris-India pada butir 1.2.3.4).
(2) Selama periode antara kedua Perang Dunia, Pemerintah-pemerintah colonial Inggris di Afrika mendorong pembentukan organisasi-organisasi koperasi modern atas dasar Pola Pengembangan Koperasi Inggris-India, yang telah mengalami perubahan dan penyempurnaan, dan yang juga dianggap sebagai suatu model usaha pengembangan koperasi di beberapa negara Asia. Di bekas daerah-daerah jajahan Perancis di Afrika, penguasa colonial mendirikan organisasi-organisasi koperasi, yang disesuaikan dengan berbagai bentuk ‘societe de prevoyance’ yang berbeda-beda dan memanfaatkannya sebagai sarana administratif untuk berbagai kepentingan. Berbagai prakarsa untuk mengembangkan koperasi-koperasi pertanian telah dilakukan pula di beberapa daerah jajahan/negara di Asia dan Amerika Selatan selama periode ini (misalnya: di Iran, Indonesia, Korea, Muang Thai, Chili, Mexiko). Pemerintah-pemerintah colonial seringkali menghindari perkembangan koperasi-koperasi modern, yang diprakarsai oleh penduduk setempat, kecuali di daerah-daerah dimana tinggal para petani Eropa, yang menbentuk koperasi di kalangannya sendiri; dan juga di daerah-daerah, dimana terdapat hubungan antara koperasi dan pergerakan kemerdekaan (misalnya di Indonesia dan di Kenya).
(3) Penyebaran koperasi-koperasi pertanian selanjutnya berlangsung selama periode dari tahun 1945 sampai dengan awal Dasawarsa Pembangunan PBB I. Konperensi pangan dan Pertanian Internasional, tahun 1943 di Hot Springs (Virginia, USA, Resolution XVII) menekankan pentingnya organisasi (swadaya)koperasi. Untuk mendorong pertumbuhan koperasi, berbagai kegiatan pemerintah telah dilakukan pula selama tahap ini. Kegiatankegiatan ini telah dilaksanakan oleh Penguasa colonial Inggris dan Perancis di Afrika, pemerintah-pemerintah negara-negara Asia, terutama setelah proklamasi kemerdekaanya (seperti di India dan di Indonesia), dan juga oleh beberapa negara di Amerika Selatan.
(4) Selama Dasawarsa Pembangunan PBB I (1960-1970) penyebaran dan pertambahan jumlah koperasi ‘modern’, terjadi di banyak negara berkembang. Pemerintah-pemerintah dari negara-negara di Afrika yang baru merdeka, demikian pula banyak pemerintah negaranegara di Asia dan Amerika Selatan mulai mendorong pembentukan koperasi (dengan bantuan bilateral dan internasional) dan memanfaatkannya sebagai sarana pembangunan pertanian. Sejumlah kesimpulan dan rekomendasi telah dikeluarkan oleh organisasiorganisasi internasional, mengenai peranan penting, yang dapat dimainkan oleh koperasi dalam pembangunan sosial-ekonomi, dan mengusulkan pemerintah-pemerintah untuk mendorong perintisan dan pengembangan organisasi-organisasi swadaya; misalnya: Resolusi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 1966 (Recommendation No. 127); Resolusi Rapat Umum PBB 2459 (XXIV) tahun 1968; Resolusi 1413, 1969, Dewan Sosial dan Ekonomi PBB. Harapan yang muluk-muluk atas berbagai dampak terhadap pembangunan yang ditimbulkan oleh organisasi-orgnaisasi koperasi yang berusaha secara efisien, seringkali terlihat dalam evaluasi umum yang bersifat politis terhadap koperasi dalam kebijakan pembangunan. Seringkali koperasi, quasi-definisinya, dianggap sebagai organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan demokratis dari rakyat kecil (petani, pengrajin, pedagang, pekerja/buruh), dan, kadang-kadang, dianggap, secara otomatis, mampu melaksanakan berbagai fungsi dengan berhasil, seperti: menunjang usaha-usaha anggota untuk meningkatkan pendapatannya, mengamankan dan memperbaiki eksistensinya, menawarkan berbagai kemudahan di bidang pendidikan dan latihan, dan, juga mampu menumbuhkan keyakinan di antara mereka tentang kemanfaatan dari solidaritas. Sekaligus, seringkali koperasi mampu diharapkan, misalnya, berperan secara intensif dalam proses pembangunan sosial-ekonomi negara-negara tertentu, menimbulkan dampak-dampak tertentu ke arah perbaikan sistem ekonomi, memberikan sumbangan ke arah penyelesaian masalah-masalah sosial, demikian pula, menunjang terwujudnya proses demokratisasi dan mengurangi stratifikasi dalam sistem sosial yang tradisional. Hal-hal inilah, yang mungkin merupakan alasan-alasan utama berbagai bantuan internasional dan dukungan pemerintah, yang seringkali intensif dalam pembentukan berbagai jenis koperasi, terutama di kawasan        pedesaan.
Koperasi-koperasi itu biasanya dilibatkan dalam penerapan berbagai proyek dan program yang dirancang untuk menginduksi perubahan yang direncanakan dan untuk memajukan pertanian yang masih bersifat tradisional. Koperasi-koperasi itu diintegrasikan dalam pelaksanaan berbagai program untuk: penyaluran kredit-kredit pertanian; pengadaan sarana produksi pertanian, perkakas/peralatan, mesin-mesin, dan barang-barang keperluan sehari-hari;pemasaran dan pengolahan hasil-hasil pertanian, dan penyuluhan pertanian. Selain itu, koperasi-koperasi itu dimanfaatkan pula pada proyek-proyek pembukaan tanah dan pemukiman, pembangunan pedesaan, dan pembaharuan sistem agraria dan pemilikan tanah, dimana sebagian besar atau seluruh kegiatan proyek diintegrasikan padanya.
(5) Dasawarsa Pembangunan PBB II (1970-1980), yang oleh Aliansi Koperasi Internasional (ICA) diumumkan sebagai “Dasawarsa Pembangunan Koperasi” (ICA, 1971), dapat dianggap sebagai suatu tahap diskusi yang kritis dan controversial mengenai koperasi dan maksud-maksud untuk mengkonsolidasi, mereorganisasi dan meningkatkan pembangunan koperasi pedesaan serta penyusunan strategi yang diterapkan untuk mendorong perekembangannya. Sejak awal tahun tujuh puluhan, organisasi-organisasi yang secara umum terdaftar sebagai koperasi menjadi sorotan utama dalam berbagai kritik (c.f. e.g. UNRID, 1969-1972). Hal ini dapat dilihat dalam kaitan dengan evaluasi-evaluasi kritis atas strategi-strategi pembangunan, sebagaimana secara resmi dinyatakan oleh Presiden Bank Dunia, R. McNamara, di Nairobi tahun 1973 (c.f. The Assault on World Poverty, 1975, hal.90 dan seterusnya).
‘Kemiskinan Mutlak’ kelihatannya terpusat di daerah-daerah pedesaan Asia dan negaranegara Bagian Selatan Sahara di Afrika. Mengingat bahwa sebagian besar pemerintah-pemerintah di negara-negara ini mendorong pembentukan koperasi secara cepat dan memanfaatkan organisasi lokal ini sebagai alat pemerintah dalam berbagai kebijakan dan program pertanian, dan sebagai ‘agen’ dalam menginduksi perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang terencana secara sentral, dan dalam pembangunan pertanian, maka dapatlah dimengerti jika penilaian-penilaian yang kritis itu diarahkan pada strategi pembangunan nasional dan internasional, termasuk strategi pembangunan koperasi pada khususnya.
-Kekecewaan dan Kritik Terhadap Koperasi Modern Dalam Rangka Kebijakan
Pembangunan
Kekecewaan terhadap hasil-hasil yang dicapai menimbulkan suatu kecenderungan untuk mevaluasi negatif secara keseluruhan terhadap koperasi-koperasi ‘modern’ dalam rangka kebijakan pembangunan. Kritik-kritik pada awal dasawarsa pembangunan PBB kebua, secara khusus, menyangkut:
(1) Dampak terhadap pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari koperasi, yang khususnya disebabkan karena ia tidak memberikan sumbangan dalam mengatasi kemiskinan dan dalam mengubah struktur kekuasaan sosial politik setempat bagi kepentingan golongan masyarakat yang miskin;
(2) Jasa-jasa pelayanan yang diberikan oleh koperasi seringkali dinilai tidak efisien dan tidak mengarah pada kebutuhan para anggotanya, bahkan sebaliknya, hanya memberikan manfaat bagi para petani besar yang telah maju;
(3) Tingkat efisiensi perusahaan-perusahaan koperasi rendah (manajemen tidak mampu, terjadi penyelewengan, korupsi, nepotisme dan lain-lain);
(4) Tingkat ofisialisasi yang seringkali terlalu tinggi pada koperasi-koperasi (pertanian), ditandai oleh adanya pengawasan dan dukungan/bantuan negara yang terlalu besar; struktur pengambilan keputusan dan komunikasi seringkali memperlihatkan struktur yang hampir sama seperti pada instansi-instansi pemerintah dan lembaga-lembaga semi pemerintah, ketimbang sebagai suatu organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan berorientasi pada anggota, sungguhpun cirri-ciri tersebut dipandang perlu untuk dikembangkan;
(5) Kesalahan-kesalahan dalam pemberian bantuan pembangunan internasional, dan, khususnya, kelemahan-kelemahan pada strategi pembangunan pemerintah yang diterapkan untuk menunjang organisasi-organisasi koperasi. Dalam pembahasan berkut ini, evaluasi-evaluasi secara kritis lebih dipusatkan pada:
(1) Strategi pemerintah dalam menunjang perintisan dan pembentukan koperasi
(2) Inkonsistensi (dalam konsepsi) menyangkut.
a) Pengawasan langsung terhadap organisasi koperasi sebagai instrument pemerintah dan sebagaiagen lokal dari birokrasi pemerintah dan semi pemerintah, untuk mencapai tujuan-tujuan makro pemerintah, seperti yang dirumuskan dalam program pembangunan negara-negara berkembang; dan sekaligus;
b) Harapan agar koperasi dapat berkembang secara baik sebagai instrument swadaya para anggotanya dalm menunjang kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok; dan
(3) Struktur organisasi dari banyak ‘koperasi resmi’ yang diciptakan dalam praktek (lihat misalnya Hanel, 1983, I, hal.83; Khan, 1980, hal.57 dan seterusnya). Sehubungan dengan perdebatan-perdebatan yang terjadi, timbulah : (1) Kesangsian terhadap relevansi dari criteria yang diterapkan dalam evaluasi umum yang bersifat negatif, terhadap koperasi-koperasi modern di negara-negara berkembang; (2) Penekanan terhadap perbedaan antara; (a) konsepsi-konsepsi organisasi swadaya koperasi yang otonom, dan (b) koperasi-koperasi yang diciptakan oleh badan-badan resmi (lihat butir 2.3.3.). (3) Penekanan terhadap tidak adanya efisiensi pada strategi penunjang yang diterapkan dalam pembentukan koperasi(c.f. butir 5.4.1.). (4) Penekanan terhadap ketidak-tepatan dan inkonsistensi kondisi-kondisi umum yang diperlukan bagi perkembangan secara bertahap dan pembangunan organisasi swadaya koperasi yang otonom (lihat butir 4.3.3.), dan akhirnya, (5) Penekanan terhadap tidak adanya efektivitas dari organisasi-organisasi modern (nonkoperasi) lainnya, yang seringkali semakin besar dalam menggapai dan melayani ‘kaum miskin’, dan dalam memberikan kontribusi untuk mengurangi dualism sosial-ekonomi yang ada. Sebagai konsekuensi dari alasan-alasan di atas, maka selain ditegaskan kembali pentingnya koperasi dan organisasi swadaya bagi proses pembangunan, secara ekplisit, ditekankan pula aspek-aspek partisipasi anggota, swadaya, demokrasi dan otonomi (lihat misalnya the Peasants charter, 1981, hal.3 dan hal. 13 dan seterusnya dan butir
Selanjutnya, istilah “koperasi yang otonom ‘atau’ organisasi swadaya koperasi” seringkali digunakan untuk menunjukkan perbedaannya terhadap lembaga-lembaga koperasi yang didirikan oleh badan-badan resmi.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa Dasawarsa Pembangunan PBB pertama, sehubungan dengan peran koperasi di negara-negara berkembang, merupakan tahap optimism, sedang dasawarsa kedua merupakan dasawarsa yang pesimis; sejak tahun delapan puluhan penilaian yang lebih realistis terhadap kondisi dan kemungkinan pembentukan organisasi swadaya koperasi dan kontribusinya terhadap proses pembangunan sosial-ekonomi benar-benar merupakan hasil dari berbagai diskusi yang kontraversial sebelumnya.

-Struktur Organisasi Koperasi Pedesaan dan Lembaga-Lembaga Penunjang
Pengembangan Koperasi’
Setiap upaya untuk menyajikan informasi singkat mengenai struktur organisasi dan kegiatan koperasi pedesaan di ‘Dunia Ketiga’ harus memperhatikan keaneka-ragaman bentuk organisasi ini di berbagai negara (lihat misalnya Dulfer, 1974, hal.64 dst.).
Jumlah koperasi yang terbesar adalah koperasi-koperasi pemberi berbagai jenis jasa pelayanan, yang diharapkan dapat menunjang usaha-usaha ekonomi para anggotanya (unit usaha pertanian, satuan-satuan usaha dan rumah tangga), dengan menyediakan dan menawarkan barang dan jasa, melalui penyaluran sarana produksi (dan juga barang-barang konsumsi), kredit, nasihat, pemasaran, pengolahan dan lain-lain. (Untuk negara-negara di Asia Tenggara, lihat Baldus et al), 1980, Vol.1, hal.95 dst). Selanjutnya, juga, melalui penyediaan ‘collective goods’ atau ‘public goods’ yang sebahagian dihasilkan dan ditawarkan secara koperatif, sungguhpun dalam volume yang relative kecil, karena tugas-tugas ini biasanya dianggap sebagai bagian dari kebijaksanaan infrastruktur Pemerintah. Bagaimanapun, keterlibatan koperasi dalam menangani jasa-jasa komunal, seperti listrik, penyediaan air, pembangunan jalan dan sebagainya, untuk kepentingan peningkatan infrastruktur setempat patut disebut dalam hubungan ini.
Berbeda dengan koperasi-koperasi pemberi pelayanan semacam itu (service/promotion Cooperatives), koperasi-koperasi produksi (productive/production Co-operatives), koperasi produsen atau koperasi para pekerja (workers Co-operatives) kurang berhasil di banyak negara, Karena masalah-masalah khusus yang berkaitan dengan jenis koperasi ini, sampai saat ini praktis belum dapat diatasi. Sungguhpun demikian, percobaan dan upaya untuk mendirikan koperasi-koperasi tipe ini telah dilakukan di berbagai negara (seperti kibbuz di Israel, Kolhoz yang dikembangkan dalam rangka penerapan strategi pembangunan agrarian dan indusri di Soviet Uni; Komune rakyat di Republik Rakyat Cina), demikian pula bentukbentuk kerja-sama asli (seperti Ejido di Meksiko dan konsepsi Ujamaa di Tanzania), merupakan
contoh-contoh perintisan berbagai bentuk ‘koperasi produk
Sepanjang menyangkut struktur organisasi dari ‘koperasi-koperasi pemberi pelayanan’ – sebagai suatu bangunan organisasi yang rumit, yang terdiri dari perusahaan koperasi dan perusahaan/usaha para anggotanya – maka tipe ‘koperasi mata rantai tata niaga (marketlinkage Co-operative) (lihat butir 2.3.6. dan 3.4.1) kelihatannya lebih dominan, sungguhpun bentuk-bentuk ‘koperasi yang terpadu’ (integrated Co-operative) atau ‘koperasi penunjang produksi’ (production-promotion Co-operative) lebih banyak dikembangkan. Sesuai dengan fungsi-fungsi yang dilaksankan, koperasi serba-usaha (multipurpose-/multiproduce Cooperatives) lebih dominan, dan diharapkan dapat menawarkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan anggotanya. Untuk meningkatkan ‘efisiensi ekonomis’ dari koperasi-koperasi primer, maka selama tahun-tahun terakhir ini sering diadakan amalgamasi dalam rangka menbentuk koperasi-koperasi ini berkedudukan di pusat-pusat administrasi tertentu dan bertugas melayani para anggota (kadangkala juga ‘bukan anggota’), yang tinggal di beberapa desa dan membentuk kelompok-kelompok yang agak besar dan heterogen; koperasi-koperasi primer itu pada umumnya berafiliasi pada organisasi-organisasi koperasi tingkat sekunder atau tertier (organisasi pusat dan federasi), yang terdapat di tingkat regional dan nasional.
Sebagaimana telah diuraikan diatas, pemerintah negara-negara berkembang telah mensponsori pembentukan organisasi-organisasi koperasi ‘modern’ dan membentuk lembagalembaga pemerintah yang khusus untuk tugas itu (seperti: departemen, direktorat, dinas-dinas khusus, dan instasi-instansi semi pemerintah). Seringkali, fungsi-fungsi yang menunjang/mensponsori pengembangan koperasi dilimpahkan pula kepada organisasiorganisasi pemerintah, yang semula dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas yang agak lain (seperti dinas land-reform, bank-bank pertanian) dan juga kepada organisasi-organisasi swasta; organisasi-organisasi puncak koperasi juga diikutsertakan dalam menangani tugas-tugas itu.
Lembaga-lembaga tersebut (pemerintah, semi pemerintah atau swasta), yang dapat disebut sebagai lembaga pendorong pengembangan koperasi atau lembaga pendorong pengembangan organisasi swadaya, memperoleh dana dari luar – swata atau pemerintah – untuk membelanjai kegiatan-kegiatannya dalam rangka memprakarsai dan mengembangkan koperasi agar menjadi organisasi-organisasi (swadaya) koperasi yang efisien dan berorientasi pada kepentingan anggota (lihat butir 2.2.5.).
Banyak dari koperasi-koperasi, yang didirikan dengan bentuan yang lengkap dari pemerintah dan lembaga-lembaga pendorong swadaya semi pemerintah, kelihatannya masih berada pada tahap awal dalam pengembangan struktur organisasinya; mereka masih belum mampu berkembang sebagai organsasi-organisasi koperasi swadaya yang otonom tanpa bantuan keuangan dan manajemen, yang disediakan langsung oleh pemerintah negara-negara berkembang itu (atau oleh badan-badan kerja sama bilateral dan internasional). Hal ini terjadi, terutama pada koperasi-koperasi yang para anggotanya berasal dari penduduk pedesaan yang tergolong masih sangat ‘miskin’. Dengan memperhatikan upaya ‘ofisialisasi’ pada banyak koperasi, timbullah masalah menyangkut ‘transformasi struktur organisasi’, dalam arti, bahwa sunnguhpun lembaga-lembaga itu didaftarkan menurut Undang-Undang Koperasi dan diperkuat dengan dana yang cukup, namun mereka masih belum berkembang sesuai dengan konsepsi organisasi yang ideal, yang mampu mengembangkan dirinya sendiri (lihat butir 5).

Sungguhpun sebahagian besar organisasi koperasi di negara berkembang merupakan koperasi-koperasi pertanian atau koperasi-koperasi pedesaan, namun masih terdapat pula berbagai jenis koperasi lain, yang juga berusaha di daerah perkotaan, misalnya: koperasikoperasi konsumsi/konsumen, koperasi-koperasi pembangunan perumahan, berbagai jenis koperasi para pengrajin, koperasi-koperasi industriawan kecil, koperasi-koperasi pedagang eceran, koperasi-koperasi para pekerja, dan lain-lain.

-Bentuk-Bentuk Kerja Sama Tradisional dan Organisasi-Organisasi Swadaya
Asli
Selain koperasi-koperasi ‘modern’ (menurut pengertian hukum), di banyak negara berkembang masih terdapat pula berbagai jenis usaha swadaya kolektif dan kerja sama tradisional, ‘transitoris’ dan ‘quasi modern’ (lihat misalnya: Seibel/Damachi, 1982; Kirsch et al., 1980; Kirsch et al., 1983: Chukwu, 1985; Mtula 1985).
Apa yang disebut sebagai ‘koperasi-koperasi asli’ atau ‘organisasi-organisasi swadaya asli’ ini seringkali adalah prakoperasi atau koperasi dalam pengertian sosial-ekonomis, yang tidak diorganisasikan menurut suatu Undang-Undang Modern.
Anggota-anggotanya adalah sebahagian besar para petani kecil, para pengrajin, pedagangpedagang eceran, dan pekerja-pekerja di daerah pedesaan dan didaerah perkotaan. Organisasi-organisasi ini seringkali berusaha di sektor-sektor ‘tradisional’ atau ‘informal’. Kegiatan-kegiatannya, meliputi: penyediaan jasa-jasa infrastruktur, sarana perumahan, pengadaan sarana produksi dan barang-barang kebutuhan sehari-hari, pemasaran, dan terutama, usaha simpan-pinjam dan perkreditan. (Untuk Indonesia, lihat misalnya: Bogor Agricultural University, 1980, hal. 124 dst.; hanel, 1983, II, hal. 28 dst.).
Dilihat dari cara-cara perintisan, dan juga dari jenis kegiatannya, seringkali, terlihat ada banyak kesamaan dengan koperasi-koperasi ynag didirikan di Eropa pada akhir abad yang lalu.
Npm: Dyah Ayu Lestari/22211290
Kelas/Tahun: 2EB09/2012
Sumbernya dari : http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/08_10_Organisasi_Koperasi_1.pdf



Tidak ada komentar:

Posting Komentar