Selasa, 27 November 2012

Review5: Koordinasi Kebijakan


PERUBAHAN PARADIGMA PERAN PEMERINTAH
DALAM PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM *
Oleh: Wahyudi Kumorotomo
                                                                   

4. KOORDINASI KEBIJAKAN

Pemberdayaan, fasilitasi, dan pengembangan koperasi dan UMKM hanya dapat berjalan secara efektif apabila koordinasi diantara para perumus kebijakan pemerintah, pelaku ekonomi swasta, masyarakat konsumen dan semua pemangku kepentingan (stake-holders) berlangsung secara baik. Yang jauh lebih penting dalam hal ini adalah koordinasi diantara kementerian, departemen, dan lembaga pemerintah yang bersinggungan dengan usaha koperasi dan UMKM baik di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi sejauh ini masih merupakan persoalan tersendiri sehingga dalam jangka menengah harus segera dibuat lebih jelas dan tegas.

Masalah koordinasi seringkali terjadi sejak penentuan kategori usaha, prosedur pembinaan, fasilitasi modal, hingga promosi produk-produk yang dihasilkan. Kecuali itu masalah koordinasi juga terjadi dalam hal pendekatan, prioritas, sektor kebijakan yang terlibat, tingkat partisipasi koperasi dan UMKM yang diperlukan dalam ekonomi nasional, hingga indikator kinerja dan target regulasi yang harus ditetapkan. Sebagai contoh, sebuah kajian menunjukkan bahwa sekarang ini ada lebih dari 30 program pendampingan teknis koperasi dan UMKM di Indonesia yang tersebar di beberapa departemen (Setyari, 2007). Tetapi sebagian besar dari program pendampingan tersebut pengaruhnya terlalu sedikit bagi pengembangan
koperasi dan UMKM. Disamping karena terbatasnya dana yang dialokasikan sedangkan jumlah koperasi dan UMKM yang ada sangat banyak, banyak program yang sifatnya tumpang-tindih dan mengulang-ulang topik yang sama sehingga kurang mampu menjawab tantangan bisnis yang sesungguhnya di lapangan.

Koordinasi tampaknya juga akan menjadi persoalan jika interpretasi setiap departemen atas peraturan perundangan mengenai koperasi dan UMKM masih berbeda-beda. Misalnya, UU No.20/2008 telah menegaskan bahwa kriteria sebagai dasar penetapan jenis usaha mikro, kecil dan menengah dibuat menurut kekayaan bersih tidak termasuk tanah dan bangunan serta hasil penjualan tahunannya (pasal 6 ayat 1-4). Tetapi di dalam praktik tidak semua kementerian dan lembaga pemerintah punya persepsi yang sama. Kementerian koperasi dan UMKM masih melihat pentingnya kriteria usaha mikro, kecil dan menengah berdasarkan omzet dan aset yang dimiliki. Tetapi dalam hal pendataan koperasi dan UMKM, pihak BPS (Badan Pusat Statistik) masih lebih mengutamakan kriteria berdasarkan jumlah tenaga-kerja yang terserap oleh usaha yang bersangkutan. Itulah sebabnya data statistik yang diperoleh Kementerian koperasi dan UMKM seringkali tidak sinkron dengan data dari BPS. Sementara itu, pihak BI (Bank Indonesia) lebih mengutamakan perhitungan aset dan keadaan keuangan yang biasanya terdapat dalam neraca dan laporan rugi-laba. Masalahnya ialah bahwa kebanyakan koperasi dan UMKM masih lemah dalam sistem pencatatan keuangan.

Untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang menyangkut koperasi dan UMKM, banyak hal yang harus dilakukan dan tidak mungkin ditangani hanya oleh satu kementerian atau departemen saja. Aspek-aspek yang perlu ditangani agar iklim usaha berpihak kepada koperasi dan UMKM itu adalah:

• Pendanaan
• Sarana dan prasarana
• Informasi usaha
• Kemitraan
• Perizinan usaha
• Kesempatan berusaha
• Promosi dagang
• Dukungan regulasi dan kelembagaan.
Untuk aspek pendanaan dan kesempatan berusaha, misalnya, koordinasi harus dijalin antara Bank Indonesia, bank komersial milik pemerintah, atau bank komersial milik swasta. Di dalam praktik, kurangnya koordinasi seringkali menghambat pemanfaatan sumberdaya finansial secara efektif. Sebagai contoh, catatan dari Bank Indonesia pada tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa realisasi kredit bagi usaha mikro dan kecil menunjukkan penurunan sebesar 2,3 persen. Tetapi di sisi lain ada sekitar Rp 230 triliun dana publik yang mandek dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Untuk mengatasi masalah ini, koordinasi kebijakan tampaknya tidak cukup hanya antara Kementerian UMKM, BI atau bank komersial milik pemerintah saja, tetapi juga harus melibatkan pihak pemerintah daerah yang selama ini lebih memilih menanam dana menganggur dari APBD dalam bentuk SBI atau surat berharga lainnya.

Koordinasi kebijakan dengan lembaga-lembaga keuangan dan perbankan sangat diperlukan agar garis kebijakan yang diambil untuk membantu koperasi dan UMKM dapat dijadikan sebagai pegangan oleh semua pihak. Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi
persoalan modal diantara koperasi dan UMKM adalah skema KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diberikan sejalan dengan keluarnya Inpres No.6 tahun 2007. Program KUR dimaksudkan untuk meningkatkan akses UKM dan usaha mikro terhadap kredit perbankan, khususnya kredit investasi. Prioritas UKM diberikan kepada nasabah UKM baru agar mereka memiliki rekam kredit (credit record) yang baik sehingga rencana bisnisnya bisa lebih layak (feasible) dan sekaligus bisa masuk sebagai kategori usaha yang layak memperoleh pinjaman dari bank
(bankable).

Namun seringkali pelaksanaan program kredit murah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pada awal tahun 2008, misalnya, pemerintah merevisi ketentuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk memperluas akses pengusaha mikro dan kecil terhadap pinjaman yang dijamin oleh pemerintah. Batas maksimal bunga pinjaman KUR diperlonggar dari 16% menjadi 24% dengan skema program linkage. Kementerian koperasi dan UKM sudah bersedia meningkatkan dana penjaminan untuk maksud tersebut. Tetapi ternyata di lapangan pihak perbankan swasta dan koperasi simpan pinjam justru banyak yang kurang setuju dengan tingkat bunga yang diatur seperti itu dan memilih mekanisme pasar untuk menentukan tingkat suku bunga. Untuk menjangkau peminjam hingga ke tingkat mikro, tidak semua bank memiliki jaringan luas di pedesaan seperti BRI. Akibatnya biaya pendanaan (cost of fund) tetap naik jika menggunakan skema program linkage, sehingga batasan bunga sebesar 24% pun terkadang tidak realistis.

Sementara itu, masalah koordinasi diantara kementerian dan departemen harus diupayakan pada waktu lima tahun yang akan datang supaya kebijakan yang digariskan oleh pemerintah pusat tidak simpang-siur. Misalnya, pihak Departemen Keuangan pernah memblokir dana sebesar Rp 439,8 anggaran Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2008. Insiden pemblokiran itu terjadi karena tidak adanya kesepakatan mengenai dana pemberdayaan bagi koperasi dan UMKM yang melalui dana Badan Layanan Umum (BLU). Kementerian Koperasi dan UKM menganggap BLU sebagai belanja sosial karena memang tugas utamanya adalah memberdayakan masyarakat, sehingga dana ini fungsinya mirip dengan dana yang dialokasikan oleh Departemen Sosial. Tetapi pihak Departemen Keuangan menganggap bahwa BLU adalah belanja modal sehingga dana yang disalurkan harus dikembalikan lagi ke negara. Ketidaksamaan konsep dan visi ini mengakibatkan terhentinya kebijakan yang sudah dirancang untuk koperasi UMKM. Setelah berlangsung negosiasi lintas departemen yang berjalan alot, barulah disepakati skema baru dana bergulir yang membedakan dengan skema KUR. Pihak bank yang sudah terlibat dalam penyaluran KUR seperti BNI, BTN, Bank Mandiri dan Bank Bukopin akhirnya tidak dilibatkan dalam skema dana bergulir tersebut.

Selain program-program dana bergulir yang memberikan fasilitas modal dengan suku bunga ringan yang dijamin oleh pemerintah, program-program yang memang dimaksudkan untuk memberdayakan koperasi dan UMKM harus terus ditingkatkan koordinasinya sehingga setiap kementerian dan departemen memiliki pemahaman dan visi yang sama Dana penguatan bagi koperasi dan UMKM yang baru saja merintis usahanya tetap diperlukan di masa-masa mendatang. Skema pendanaan seperti Perkassa (Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera) dan P3KUM (Program Pembiayaan Produktif Koperasi dan Usaha Mikro) hendaknya terus dikembangkan dengan koordinasi lintas departemen yang terus ditingkatkan.

Di tingkat daerah, koordinasi menjadi sangat penting untuk menunjukkan komitmen pemerintah bagi pengembangan koperasi dan UMKM. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak Gubernur, Bupati atau Walikota yang hanya mengutamakan kepentingan jangka pendek dengan memprioritaskan peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena itu, usaha-usaha berskala besar yang berpotensi menyumbang kepada PAD selalu diutamakan sedangkan usaha mikro dan koperasi tidak lagi memperoleh perhatian yang semestinya. Di banyak daerah, langkah dari pihak Pemda seringkali justru mematikan usaha mikro dan koperasi tersebut. Izinizin baru bagi pasar swalayan modern dan usaha perdagangan besar terus diberikan sedangkan melalui perangkat justisi Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendapatan Daerah dikerahkan untuk melakukan banyak penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL). Izin masuk impor pakaian jadi dari Cina diberikan secara serampangan di banyak daerah sedangkan para pengusaha garment dan konveksi yang berskala kecil dan menengah tidak memperoleh perlindungan yang memadai. Akibatnya garis kebijakan yang diambil bagi perlindungan koperasi dan UMKM seringkali bersifat mendua dan pada akhirnya kurang berjalan secara efektif untuk membantu ekonomi kerakyatan yang sangat penting bagi upaya pemberantasan kemiskinan.

Nama/Npm: Dyah Ayu Lestari
Kelas/Tahun: 2EB09/2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar