Senin, 26 November 2012

review1:pendahuluan


Koperasi Karyawan.
antara pola sub-kontrak dan aktualisasi ekonomi pekerja.
Sebuah studi bandin.

Oleh Irsyad Muchtar*
Pendahuluan

Definisi dan Ruang Lingkup

Nama koperasi karyawan (kopkar) di Indonesia sudah dikenal sangat luas dengan terminologi koperasi fungsional yang hidup di lingkungan perusahaan. Keberadaannya merupakan manifestasi dari upaya penciptaan nilai tambah ekonomi di kalangan karyawan berpenghasilan rendah. Dan sekaligus sebagai implementasi dari esensi koperasi sebagai alat pemerataan pendapatan. Kendati keberadaannya sangat tergantung pada komitmen perusahaan, namun kopkar bukan perpanjangan tangan, apalagi alat penekan bagi kepentingan perusahaan. Kopkar justru subjek dan mitra usaha perusahaan. Dunia perkoperasian juga mengenal istilah Koperasi Pekerja ( Worker Cooperative). Kendati hampir mirip dengan sebutan kopkar . bahkan Departemen Tenaga Kerja tidak membedakan antara keduanya - namun terdapat perbedaan substantif. Koperasi pekerja adalah sebuah bangun usaha produktif.
 Para anggotanya berposisi sebagai pekerja, pemilik dan sekaligus majikan. Hasil koperasi pekerja tidak dikonsumsi oleh anggotanya sendiri, tapi dipasarkan. Karenanya, koperasi pekerja sering disebut sebagai koperasi produksi (production co-operative). Sedangkan kopkar, adalah istilah umum yang lebih dulu kita kenal . Koperasi ini beranggotakan karyawan-karyawan perusahaan dan melakukan kegiatan yang hasilnya dikonsumir oleh anggotanya sendiri, seperti barang-barang konsumsi, kredit, perumahan dan sejenisnya. Koperasi ini digolongkan sebagai koperasi konsumsi1. Kapan kopkar mulai dikenal dan akrab di telinga khalayak ramai. Hampir tidak ada data pasti, karena keberadaan kopkar memang tidak diatur secara khusus oleh undang-undang ataupun peraturan pemerintah lainnya. (bandingkan dengan KUD, KSU atau KSP).



Sebagai patokan, awal keberadaan
kopkar di perusahaan swasta kiranya dapat mengacu pada saat lahirnya UU No 12 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Dalam UU yang merupakan revisi terhadap UU No 14 Tahun 1965 ini, pada penjelasan pasal 17 tentang jenis koperasi dimungkinkan tumbuhnya koperasi-koperasi fungsional.
Istilah fungsional sebenarnya tidak dikenal dalam dunia perkoperasian yang hanya mengenal istilah koperasi konsumen, produsen dan kredit.

Setelah dibelakukan UU No 12 Tahun 1967, koperasi fungsional pun marak. Ditandai dengan munculnya koperasi di lingkungan Angkatan Bersenjata (kini TNI). Di kalangan pegawai negeri sipil (PNS) sudah lebih dulu muncul koperasi dengan nama Koperasi Pegawai Negeri (KPN) pada 1954. Sedangkan di lingkungan dunia usaha dikenal pula istilah Koperasi Kerja Indonesia (Koperindo) dan Koperasi Buruh Indonesia (Kobin). Kemudian sejak Januari 1986 kedua koperasi tersebut bernaung di bawah Induk Koperasi Pekerja Indonesia (Inkoperindo), dan selanjutnya berubah nama menjadi Inkopkar.2 Jika mengacu pada prinsip perkoperasian dunia, kemunculan koperasi golongan fungsional merupakan sebuah antitesa. Keanggotaan koperasi yang semula sukarela dan terbuka, sudah tidak berlaku lagi.3 Posisi keanggotaan dalam koperasi golongan fungsional tidak bisa bebas dan terbuka, tetapi bersifat tertutup atau hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki profesi sejenis.4 Persoalannya, apakah dengan adanya pelencengan prinsip berkoperasi itu, keberadaan kopkar menjadi tidak jelas? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Apalagi dalam iklim Perkoperasian di

Indonesia yang sudah lama salah kaprah. Kopkar memang merupakan anomali yang dilegalisir oleh ketentuan perundangundangan pemerintah seperti tercantum dalam penjelasan pasal 16 UU No 25 Tahun 1992. Dasar untuk menentukan jenis Koperasi adalah kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya, seperti Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi Pemasaran dan Koperasi Jasa.

Pada baris terakhir penjelasan pasal itu disebutkan: Khusus koperasi yang dibentuk oleh golongan fungsional seperti pegawai negeri, anggota ABRI, karyawan dan sebagainya, bukan merupakan jenis Koperasi tersendiri. Penjelasan tersebut ingin mengatakan bahwa koperasi fungsional bukan bersifat khusus meskipun keberadaannya tidak berada dalam jangkauan wilayah umum. Namun, dengan keterbatasan jangkauan secara umum itu justru membuat kopkar menjadi sangat khusus, bahkan bisa digolongkan pada pseudo koperasi (koperasi semu). Keberadaan kopkar memang unik. Tidak seperti koperasi lainnya, seperti KSP atau KUD, kiprah kopkar jauh dari gemerlap program bantuan dan pemberdayaan pemerintah. Boleh dibilang, hampir tidak ada program pemberdayaan
koperasi oleh pemerintah yang mengucur ke kopkar. Di masa Orde Baru, pernah muncul gebyar alih saham perusahaan ke






koperasi, yang ditimpali dengan munculnya banyak kopkar. Tetapi gebrakan tersebut lebih bernuansa politis ketimbang pemberdayaan koperasi. Hasilnya, bagai gelembung buih sabun, alih saham hilang begitu saja. Sampai kini tidak ada koperasi yang mengklaim kepemilikan sahamnya di perusahaan besar. Apakah kopkar termasuk kelas koperasi genuine (sejati) yang mampu tumbuh atas partisipasi murni para anggotanya? Tampaknya agak sulit mencari kopkar yang tumbuh hanya mengandalkan partisipasi modal anggota an sich!. Kebanyakan kopkar tumbuh karena dukungan modal, fasilitas dan hubungan kerja dengan induk perusahaannya. Tulisan ini mencoba menelisik kiprah dan perkembangan kopkar dalam korelasinya dengan induk perusahaan. Berapa jauh peranan perusahaan memajukan koperasi dan apa dampaknya jika dukungan perusahaan melemah terhadap kopkar.
Nama/Npm: Dyah Ayu Lestari/22211290
Kelas/Tahun: 2EB09/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar